I. PENDAHULUAN
I.1. Latar
Belakang
Pati merupakan sumber energi dan karbon penting yang
dihasilkan oleh tanaman. Selain itu, pati secara umum ialah zat tepung dari karhohidrat dengan polimer
yang terdiri atas dua komponen penyusunnya, yakni amilosa dan amilopektin. Amilosa
ialah polimer linier dengan ikatan α-1,4-D glikosidik, sedangkan amilopektin
ialah sebuah polimer bercabang dengan rantai utamanya α-1,4-D glikosidik sedang
rantai percabangannya α-1,6-glikosidik. Pati biasa juga disebut starch memiliki beberapa jenis yang
didasarkan pada tingkat kecepatan dicernanya kedalam tubuh, yakni rapidly digestible starch (20 menit), slowly digestible starch (20-110 menit),
dan resistant starch (tidak dapat
dicerna). Pati resisten dalam lingkup global begitu banyak perkembangannya.
Pati resisten/resistant
starch merupakan sebuah fraksi pati yang tidak dapat tercerna oleh/dalam
sistem saluran pencernaan manusia. Peranan pati resisten dalam dunia gizi
begitu erat kaitannya dengan kesehatan manusia, dimana pati resisten ini
memiliki beberapa tipe yakni, RS 1 (berdasar sifat fisik bahan berpati,
melingkupi ukuran partikel dan derajat hidrasi, misalnya biji dan kacang-kacangan),
RS 2 (diperoleh dari sifat alami pati: misalnya kentang, dan pisang), RS 3
[diperoleh dari proses pengolahan (pemanasan dan pendinginan secara berulang)],
dan RS 4 (hasil modifikasi secara kimia atau repolimerasi, seperti terbentuknya
ikatan silang pada rantai polimer).
Pati resisten secara analitis, dapat didefinisikan
sebagai sebuah pati yang miliki ketahanan terhadap proses dispersi didalam air
mendidih, juga terhadap hidrolisis oleh enzim amilase pancreas dan pullulanase
tetapi dapat didispersi dengan senyawa KOH dan proses hidrolisis amiloglukosidase.
Pati resisten dalam penelitian, seperti serat makanan yang sulit dicerna dalam
usus halus sehingga langsung masuk ke dalam usus besar. Selain itu juga pati
resisten ada yang sedikit terfermentasi oleh mikroflora serta dapat memberikan
pengaruh yang positif pada koloni bakteri baik (Fuentes-Zaragoza, et al., 2010).
Melihat dari itu semua, sebagai
mahasiswa (i) itu sendiri, terkhusus dalam bidang teknologi pengolahan pangan,
dalam pemanfaatan ilmunya dan untuk memenuhi kepuasan pengetahuan mengenai pati
resisten inii, serta agar tidak ketinggalan teknologi dan informasi seperti
yang dijelaskan diatas, maka buatlah makalah ini, dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penjelasan
mengenai pati resisten ini, yaitu agar mahasiswa (i) dapat mengetahui kandungan pati resisten secara alami dan
proses pengolahan untuk meningkatkan
kandungan pati resisten.
II. BAGIAN ISI
II.1. Kandungan Alami Pati Resisten
II.1.1. Kandungan Pati Alami Dari Berbagai Jenis
Tumbuhan
Pati merupakan polimer yang disintesa dari dalam
tanaman hijau, pada bagian kloroplas dalam bentuk butiran-butiran kecil. Residu dari pati ini
banyak terbentuk pada siang hari. Kandungan pati alami yang terdapat didalam tanaman
berupa amilosa dan amilopektin.
Pati pada tanaman juga dapat ditemukan pada bagian rhizoma,
umbi batang, umbi akar, buah dan biji. Beberapa contoh dari pati yang terdapat
pada biji, seperti jagung, beras, gandum, sorgum, jewawut, dan pisang. Pada
bagian batang sendiri, misalnya dari sagu, tebu, palem, sawit, dan enau. Sedangkan
pada umbi, biasa terdapat pada tanaman ubi jalar, ubi kayu, uwi, kentang,
gadung, garut, gembili, dan gayong.
·
Pisang
sebagai sebuah komoditi hasil pertanian memiliki kandungan karbohidrat yang
tinggi, juga terdapat komponen pati yakni 17,2-38% dengan takaran teruji kadar
amilosanya sekitar 9,1-17,2%. Melihat dari tingginya kandungan amilosa yang
terdapat pada tanaman pisang ini banyak peneliti yang menelitinya untuk
dijadikan sebagai salah satu sumber alternatif baru yang begitu berpotensial
yang dapat digunakan dalam pembuatan resistant
starch (pati resisten) (Jenie dkk, 2012). Selain itu, pengembangan pati resisten
secara komersial ini, lebih baik digunakan dari pati yang secara alami
terkandung amilosa yang tinggi.
· Pati biji
jagung secara genetik memiliki kandungan amilosa dan amilopektin yang terkendali.
Amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti protein dan lipid merupakan tiga komponen utama dari penyusunan pati. Berdasarkan tipe jagungnya,
terkandung amilosa sebanyak 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75% untuk jagung tipe
endosperma gigi kuda dan mutiara. Lalu ada pula pati dari jagung pulut yang
kandungan patinya hampir 100% amilopektin. Gen tunggal waxy yang bersifat resesif epitasis
merupakan satu faktor penyebab komposisi kimia pati, hingga amilosa yang terdapat
didalamnya begitu sedikit (Fergason 1994).
·
Ganyong
ialah sebuah tanaman yang tegak dengan tinggi antara 0,9-18 m. Bentuk dan
komposisi kadar umbinya beraneka ragam. Di Indonesia sendiri, varietas yang
banyak dijumpai ialah ganyong dengan warna merah dan putih. Ganyong merupakan
sumber karbohidrat, yakni sekitar 22,6-23,8% . Ukuran granula yang dimilikinya
22,5 µm, selain itu terdapat rendemen pati sebnayakk 12,93%. Adapun kandungan
amilosanya sebanyak 8,9% dan amilopektin sebesar 81,1%.
· Gembili
memiliki sifat fisik kimia yakni 21,44% (rendemen pati), 0,75 µm (ukuran
granula), 24,3% (amilosa) dan 75,7% (amilopektin), 33 menit (waktu
gelatinisasi), 79,5oC (suhu gelatinisasi), dan 700 BU (viskositas
puncak).
Dari beberaoa contoh diatas itu diketahui bahwasanya
kandungan yang terdapat pada tanaman ini dilihat dari segi kandungan pati
alaminya berbeda tergantung komoditinya, selain itu dengan pencakupan yang
luas, suatu pengolahan ataupun penelitian mengenai pati resisten yang marak
didunia modern ini masih dapat terus berkembang.
II.1.2. Metode Penghitungan Pati Resisten
Beberapa metode pati resisten yang dapat dilihat
berdasarkan jurnal ilmiah yang direview ini adalah sebagai berikut:
a)
Penelitian
berjudul “Modifikasi pati sederhana
dengan metode fisik, kimia, dan kombinasi fisik-kimia untuk menghasilkan tepung
pra-masak tinggi pati resisten yang dibuat dari jagung, kentang, dan ubi kayu”.
Dalam penelitian yang terjadi didalamnya, metode perhitungan pati resisten
didalamnya dilakukan dengan melihat perlakuan metode yang diberikannya. Dimana,
dilakukan modifikasi fisik (pemanasan dan pendinginan), modifikasi kimiawi
(perlakuan alkali). Pada perlakuan modifikasi secara kimiawi ini dengan
penggunaan Ca(OH)2
polimer dari pati meningkatkan kadar resisten pati, sebab polimernya ini dapaat
memperkuat struktur pati yang ada juga mampu menahan hidrolisis enzim. Ca2+
dari Ca(OH)2 akan melakukan pengikatan/berikatan dengan polimer dari
pada pati (amilosa dan amilopektin) membentuk ikatan silang. Selain itu juga
dalam penjelasan lain dijabarkan bahwa karena pH dari larutan cukup tinggi,
sehingga Ca(OH)2 akan terionisasi menjadi Ca2+ dan OH-
lalu membentuk ikatan silang dengan polimer pati.
b) Penelitian
berjudul “Kajian kandungan dan
karakterisik pati resisten dari berbagai varietas pisang”. Dalam penentuan pati resistennnya ini, itu dilakukan dengan
memodifikasi metode yang digunakan oleh Goni et al. (1996). Banyaknya
glukosa [(mg) x 0,9] dalam hal ini ialah jumlah pati resisten pada tiap sampel.
Rumus
yang digunakan;
Kadar glukosa (mg) = [mg/ml glukosa dari
kurva standar x vol. sampel (ml) x fp x 1 mg]/ Berat sampel (mg)
II.2. Proses Pengolahan Peningkatan Kandungan Pati Resisten
Pati resisten merupakan fraksi pati yang tidak dapat
tercerna oleh/dalam sistem saluran pencernaan manusia. Namun dalam dunia
kesehatan dapat menjadi probiotik, karena pati yang tak dicerna didalam usus
dan difermentasi oleh mikroba seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli, sehingga resistant starch juga berpotensi sebagai prebiotik.
Dalam hal lainnya, pati resisten ini
banyak dikembangkan, terutama dalam industri makanan, sebab khasiatnya sebagai
makanan diet, dapat menurunkan respon glikemik (yang sebabkan kenaikan daripada
kadar gula darah), juga dapat memberikan rasa kenyang, serta mengurangi
penyimpanan lemak) (Croghan, 2001).
Lebih jelas, pati resisten ini juga
dapat meningkatkan mikroflora yang baik untuk kolon (prebiotik) dimana
berpotensi mencegah kanker kolon. Olehnya, pati resisten memiliki manfaat yang
baik untuk kesehatan dan juga musti banyak dikonsumsi (dianjurkan) (Croghan, 2001).
Pengolahan
dan peningkatan kandungan dari pati resisten pati itu sendiri sudah banyak
dilakukan dan sekarang ini sudah banyak jurnal ilmiah yang dapat dipelajari dan
merangkum cara-cara penambahan kadar dari resisten pati. Gunanya pati resisten
itu ditingkatkan, adalah sudah jelas, selain bagus untuk pencernaan, mengatasi
kanker (kolon), dan sebagai serat pangan (berhubungan dengan fisiologis
makanan).
Peningkatan
pati resisten ini dapat dilakukan dengan proses tertentu, misalnya dengan
perebusan dan pemanggangan dengan suhu tinggi, pendinginan dan pemanasan
berulang, penambahan asam laktat (bakteri), dan perlakuan penambahan alkali
(seperti yang telah dijelaskan sebelumnya). Berikut akan ditampilkan beberapa
metode yang seperti dimaksudkan itu, dalam sebuah penelitian berbasis ilmiah
yang juga telah teruji.
a)
Penelitian dengan judul “Pengaruh Dua Siklus Autoclaving-Cooling Terhadap Kadar Pati Resisten
Tepung Beras dan Bihun yang Dihasilkannya”. Dengan memanfaatkan metode
autoclaving-cooling sebagai metode dasar peningkatan kadar resisten pati pada
sampel beras yang diujikan, yakni Ciherang Igr (pratanak), Basmati dan IR-42.
Dalam hal ini, beras hasil pengunaan metode tersebut mengalami peningkatan
resisten pati, dan dihasil didapatkan bahwa beras Ciherang Igr yang memiliki
tingkat pengingkatan resisten pati tertinggi. Adapun faktor lain yang
menyebabkan tingginya pati resisten yang terjadi karena kandungan amilosa yang
terdapat didalam beras tersebut. Karena menurut sumber ilmiah resmi dijelaskan
bahwa kadar resisten pati semakin meningkat, bila kadar amilosa dalam bahan
baku juga semakin tinggi (Yuliwardi dkk, 2013).
b)
Penelitian
dengan judul “Modifikasi Pati Sederhana
Dengan Metode Fisik, Kimia, Dan Kombinasi Fisik-Kimia Untuk Menghasilkan Tepung
Pra-Masak Tinggi Pati Resisten Yang Dibuat Dari Jagung, Kentang, Dan Ubi Kayu”.
Dalam penelitian yang terjadi didalamnya, metode fisik, kimia dan kombinasi
fisik kimia yang diterapkan. Pada sebuah penjelasan dari sumber lain pada
jurnal ini dikatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pati resisten
didalam bahan pangan, faktor-faktor itu antara lain keadaan fisik dari bahan
baku (melingkupi kadar amilosa dan amilopektinnya, serta ukuran dari granula),
kemudian juga proses pengolahannya, dan faktor adanya komponen lainnya
(misalnya lipida). Kembali pada topik bahasan modifikasi pati ini, sudah jelas
bahwa amilosa dalam fisik/sebagai kandungan dari pati alami pada tanaman
memegang peranan penting, karena semakin tinggi amilosa pada bahan baku, maka
kadar pati resisten juga semakin tinggi. Selain itu, modifikasi kimiawi
(perlakuan alkali) yang digunakannya ini juga sebagian besar mempengaruhi
terhadap kadar resisten pati. Pada perlakuan modifikasi secara kimiawi ini
dengan penggunaan Ca(OH)2
polimer dari pati meningkatkan kadar resisten pati, sebab polimernya ini dapat
memperkuat struktur pati yang ada juga mampu menahan hidrolisis enzim. Ca2+
dari Ca(OH)2 akan melakukan pengikatan/berikatan dengan polimer dari
pada pati (amilosa dan amilopektin) membentuk ikatan silang. Selain itu juga
dalam penjelasan lain dijabarkan bahwa karena pH dari larutan cukup tinggi,
sehingga Ca(OH)2 akan terionisasi menjadi Ca2+ dan OH-
lalu membentuk ikatan silang dengan polimer pati (Wulan, dkk, 2012).
c) Penelitian dengan judul “Fermentasi Kultur Campuran Bakteri Asam Laktat Dan Pemanasan Otoklaf
Dalam Meningkatkan Kadar Pati Resisten Dan Sifat Fungsional Tepung Pisang
Tanduk (Musa paradisiacal formatypica)”. Dengan pemahaman mengenai pati
resisten yang dapat menstimulasi tumbuh kembangnya bakteri menguntungkan
(probiotik) seperti Bifidobacteria
dan
Lactobacillus yang terjadi didalam usus manusia. Maka dilakukan
penelitian mengenai bagaimana caranya agar terjadi peningkatan pada pati
resisten ini. Adapun solusi yang digunakan untuk peningkataan pati resisten
ini, adalah dengan metode pemanasan otoklaf dan fermentasi. Pada prinsipnya
dijelaskan bahwa pemanasan dengan sistem otoklaf ini gelatinisasi pati yang terjadi
menyebabkan tereduksinya kandungan pati, substansi peningkatan level dari
kerusakan pati ini juga terjadi. Namun dari kerusakannya itu, pati berkorelasi
positif terhadap peningkatan daya cerna dan kadar amilosanya. Dalam penelitian
ini juga, terjadi linierisasi amilopektin sehingga timbulkan kadar amilosa
tepung pisang dengan metode pemanasan otoklaf meningkat, daripada tepung pisang
tanpa metode pemanasan otoklaf. Sedangkan dari segi metode fermentasi
didapatkan hasil bahwa Bakteri Asam Laktat dengan penggunaan metode pemanasan
otoklaf (P<0,05) secara signifikan tidak mengalami pengaruh berarti terhadap
kadar pati resisten dan kadar pati, namun itu secara signifikan berpengaruh
terhadap daya cerna pati pada tepung pisang dan juga kadar amilosanya (Jenie
dkk, 2013).
d) Penelitian ini berjudul "Pengaruh Proses
Pengolahan terhadap Kadar Pati Resisten Sukun (Artocarpus altilis
Park)". Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengetahui
pengaruh pengolahannya terhadap kadar pati resisten yang terdapat pada sukun,
ialah dengan perebusan, pengukusan, dan penggorengan yang untuk masing-masing
pengolahannya inni dikombinasikan ula dengan proses pendinginan dengan waktu
yang diatur (dikontrol) pada refrigrator. Pada tampilan hasil yang telah
diujikan ini, sukun dengan proses pengolahan yang terbaik dijadikan sebagai
bahan olahan fungsional pada beberapa jenis makanan, seperti untuk pembuatan
biskuit, cake dan roti manis. Lalu dilakukan pengujian secaara organoleptik
untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen/panelis terhadap produk pangan
tersebut. Lebih jelas, perlakuan terbaik yang digunakan ialah dengan pengolahan
pengukusan dan lalu pendinginan, dimana idtampilkan hasilnya 2 kali lipat dari
pada dua metode pengolahan lainnya (perebusan dan penggorengan), yakni dari
3,27% menjadi 6,67% (Rosida dan Yulistiani, 2011).
Secara umum, konsep pengolahan dari pati
resisten ini lebih banyak bersumber dari konsep pemanasan dan lalu pendunginan
pada bahan itu. Hal ini juga sempat dijelaskan diatas, metode pemanasan dan
pendinginan. Pada hakekatnya, pemanasan pati dan air pada bahan pangan ini/yang
ditambahkan ini akan menyebabkan pati mengalami proses gelatinisasi. Kemudian
pada proses pengolahan pendinginan ini, pati yang telah mengalami proses
gelatinisasi mengubah struktur fisik pati menjadi bentuk kristal (amorf) yang
tidak larut, yang biasa disebut pati teretrogradasi. Proses gelatinisasi dan
juga retrogradasi inilah yang sering mempengaruhi kecepatan bahan berpati
didalam usus halus. Pada proses pengolahan pangan, berdasar pada pengolahan dan
tipe dasar pati (RS 1, 2, 3, dan 4), telah banyak oleh industri pangan dan juga
konsumen untuk meminatinya, sehubungan dengan efek positifnya, yang secara
fisiologis menguntungkan bagi kesehatan ataupun secara fungsional diterapkan
pada olahan pangan. Penambahan pati resisten pada produk panganan olahan ini
memperbaiki mutu dan kualitas dari produk, bagi dari segi kerenyahan (tekstur),
warna, dan atau flavor/rasa, sehingga
ini dapat diterima oleh masyrakat, terkhusus konsumennya.
III.
PENUTUP
III.1.
Kesimpulan
Pati resisten/resistant
starch merupakan sebuah fraksi pati yang tidak dapat tercerna oleh/dalam
sistem saluran pencernaan manusia. Peranan pati resisten dalam dunia gizi
begitu erat kaitannya dengan kesehatan manusia, dimana pati resisten ini memiliki
beberapa tipe yakni, RS 1 (berdasar sifat fisik bahan berpati, melingkupi
ukuran partikel dan derajat hidrasi, misalnya biji dan kacang-kacangan), RS 2
(diperoleh dari sifat alami pati: misalnya kentang, dan pisang), RS 3
[diperoleh dari proses pengolahan (pemanasan dan pendinginan secara berulang)],
dan RS 4 (hasil modifikasi secara kimia atau repolimerasi, seperti terbentuknya
ikatan silang pada rantai polimer).
Kandungan pati alami yang terdapat didalam tanaman
berupa amilosa dan amilopektin. Pati pada tanaman juga dapat ditemukan pada
bagian rhizoma, umbi batang, umbi akar, buah dan biji. Beberapa contoh dari
pati yang terdapat pada biji, seperti jagung, beras, gandum, sorgum, jewawut,
dan pisang. Pada bagian batang sendiri, misalnya dari sagu, tebu, palem, sawit,
dan enau. Sedangkan pada umbi, biasa terdapat pada tanaman ubi jalar, ubi kayu,
uwi, kentang, gadung, garut, gembili, dan gayong.
Peningkatan pati resisten ini dapat dilakukan
dengan proses tertentu, misalnya dengan perebusan dan pemanggangan dengan suhu
tinggi, pendinginan dan pemanasan berulang, penambahan asam laktat (bakteri),
dan perlakuan penambahan alkali.
Sumber Referensi:
Jurnal:
Jenie B.S.Laksmi,
Reski Praja Putra, dan Feri Kusnandar. 2012. Fermentasi Kultur Campuran
Bakteri Asam Laktat Dan Pemanasan Otoklaf Dalam Meningkatkan Kadar Pati
Resisten Dan Sifat Fungsional Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiacal formatypica). FTP-ITB: Bandung.
Musita, Nandi. 2012. Kajian Kandungan Dan Karakterisik Pati Resisten
Dari Berbagai Varietas Pisang. Bandar Lampung.
Rosida dan Yulistiani, Ratna. 2011. Pengaruh Proses Pengolahan
terhadap Kadar Pati Resisten Sukun (Artocarpus
altilis Park). FTP-UPN Veteran: Jatim.
Suarni, I.U. Firmansyah, dan M. Aqil. 2013. Keragaman Mutu Pati
Beberapa Varietas Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Sulawesi
Selatan.
Wulan S.N, E. Saparianti, S.B. Widjanarko dan N. Kurnaeni. 2012. Modifikasi
Pati Sederhana Dengan Metode Fisik, Kimia, Dan Kombinasi Fisik-Kimia Untuk
Menghasilkan Tepung Pra-Masak Tinggi Pati Resisten Yang Dibuat Dari Jagung,
Kentang, Dan Ubi Kayu. FTP-UNIBRAW: Malang.
Yuliwardi F., Elvira Syamsira, Purwiyatno Hariyadi, dan Sri Widowati.
2013. Pengaruh Dua Siklus Autoclaving-Cooling Terhadap Kadar Pati Resisten
Tepung Beras dan Bihun yang Dihasilkannya. ITP-IPB: Bogor.
Referensi Terkait Dalam Jurnal:
Crohgan, M. 2001. Resistant Starch as Functional Ingredients in Food
Systems. National Starch.
Fergason. V. 1994. High Amylase and Waxycorn. In: A.R. Halleur
(Ed). Specialty Corns. CRC Press Inc. USA.
Fuentes-Zaragoza, E., M.J. Riquelme-Navarrete, E. Sanchez-Zapata dan J.A.
Perez-Alvarez. 2010. Resistant Starch
as Functional Ingredients: a Review. Food Research International. Food
Research International 43: 931–942.
Goni, L., L. Gracia-Diz,mas.d” and F. Saura-Calixto. 1996. Analysis of
Resistant Starch : Method of Food Product. J. Food Chem. 56 (4): 445-449.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar