Senin, 15 Juni 2015

Penentuan Kadar Air dan Kadar Abu

I.  PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
       Pengukuran kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam berbagai bidang. Salah satu bidang yang memerlukan pengukuran kadar air adalah bidang pertanian. Mutu suatu bahan pangan ditentukan oleh kadar airnya, semakin tinggi kadar airnya, mutunya semakin jelek.
       Selain itu, kita juga perlu mengetahui penentuan kadar abu. Penentuan kadar abu digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan.
      Oleh karena itu, praktikum ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kandungan air dan kandungan abu yang terdapat pada suatu bahan pangan dan metode yang digunakannya masing-masing.

B.     Tujuan dan Kegunaan
       Tujuan dari praktikum ini, yaitu:
1.    Untuk mengetahui kadar air dan kadar abu yang terdapat pada biskuit.
2.    Untuk mengetahui cara menganalisa kadar air.
3.    Untuk mengetahui cara menganalisa kadar abu.
       Kegunaan dari praktikum ini, adalah agar kita dapat mengetahui cara untuk menghitung kadar air dan kadar abu pada suatu bahan pangan, yang pada dasarnya juga digunakan sebagai parameter penentu nilai gizi bahan pangan tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A.     Biskuit
       Biskuit merupakan makanan kering yang tergolong makanan panggang atau kue kering. Biskuit biasanya dibuat dari bahan dasar tepung terigu atau tepung jenis lainnya. Biasanya, dalam proses pembuatan biskuit, ditambahkan lemak atau minyak yang berfungsi untuk melembutkan atau membuat renyah, sehingga menjadi lebih lezat. Dalam pembuatan biskuit juga ditambahkan gula yang berfungsi sebagai pemanis dan memberikan tekstur yang halus. Jenis gula yang digunakan biasanya adalah gula halus. Garam juga merupakan bumbu penting untuk menguatkan rasa di lidah. Bahan tambahan pangan lain yang sering digunakan adalah soda kue, air, susu, dan perasa (flavor) (Astawan, 2008).
       Proses pembuatan biskuit cukup mudah. Formulasi adonan merupakan tahap awal yang sangat penting karena menentukan mutu yang dihasilkan. Setelah ditemukan formula yang tepat, adonan kemudian dicampur atau diaduk. Tujuan pengadukan agar adonan dapat mengembang dan memiliki tekstur halus. Proses pencampuran formula tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Untuk menghasilkan adonan yang baik, semua bahan, kecuali tepung, diaduk dengan mikser sampai tercampur halus, baru kemudian diaduk lagi bersama-sama (Astawan, 2008).
        Segera setelah proses pencampuran selesai, adonan harus dicetak maksimal 30 menit kemudian. Bila dibiarkan terlalu lama, adonan dapat menyerap air dari lingkungan, sehingga memengaruhi pengembangan atau menjadi keras karena terjadi penguapan air. Adonan yang telah dicetak kemudian dipanggang dalam oven. Biasanya pemanggangan biskuit berlangsung antara 2,5 hingga 30 menit. Setelah itu biskuit didinginkan dan dikemas (Astawan, 2008).
       Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 (1992), yaitu:
1)      Air : Maksimum 5 %
2)      Protein : Minimum 9 %
3)      Lemak : Minimum 9,5 %
4)      Karbohidrat : Minimum 70 %
5)      Abu : Maksimum 1,6 %
6)      Logam Berbahaya : Tidak Terdapat/negatif
7)      Serat Kasar : Maksimum 0,5 %
8)      Kalori (kal/100 g) : Minimum 400
9)      Jenis Tepung : Terigu
10)   Bau dan Rasa : Normal, tidak tengik
B.     Kadar Abu
       Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Produk perikanan memiliki kadar abu yang berbeda-beda. Standar mutu ikan segar berdasar SNI 01-2354.1-2006, ialah memiliki kadar abu kurang dari 2%. Produk olahan hasil diversifikasi dari  jelly fish product (kamaboko) yang tidak diolah menjadi surimi dahulu memiliki standar kadar abu antara 0,44 – 0,69% menurut SNI 01-2693-1992. Contoh  jelly fish product, yakni otak-otak, bakso dan kaki naga (Astuti, 2012).
       Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penggilingan gandum, misalnya, apabila masih banyak lembaga dan endosperm maka kadar abu yang dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan endosperm pada gandum menandakan proses pengolahan kurang baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor yang menyebabkan hasil analisis kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar abu sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada makanan tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara menurut Astuti (2012), yaitu pengabuan cara langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara basah).
a)      Penentuan kadar abu secara langsung
       Prinsip pengabuan cara langsung yaitu semua zat organik dioksidasi pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600oC, kemudian zat yang tertinggal setelah proses pembakaran ditimbang. Mekanisme pengabuan cara langsung yaitu cawan porselen dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram. Setelah itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai berat b gram. Pengabuan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pemanasan pada suhu 300oC agar kandungan bahan volatil dan lemak terlindungi hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan hingga asam habis. Selanjutnya, pemanasan pada suhu bertahap hingga 600oC agar perubahan suhu secara tiba-tiba tidak menyebabkan cawan menjadi pecah.
b)      Penentuan kadar abu secara tidak langsung
       Prinsip pengabuan cara tidak langsung yaitu bahan ditambahkan reagen kimia tertentu sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol atau pasir bebas anorganik yang selanjutnya dipanaskan dalam suhu tinggi. Pemanasan menyebabkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan memperbesar oksidasi. Pemanasan pada pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas sehingga proses pengabuan semakin cepat.
       Mekanisme pengabuan cara tidak langsung yaitu cawan porselen dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram. Setelah itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai berat b gram. Gliserol alkohol ditambahkan dalam cawan sebanyak 5 ml dan dimasukan dalam tanur pengabuan hingga putih keabu-abuan. Abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari. Cawan porselen dioven terlebih dahulu untuk mengeringkan air yang mungkin terserap saat disimpan dalam muffle lalu dimasukan ke desikator. Penimbangan cawan setelah pengabuan dicatat sebagi berat c gram.  Suhu yang tinggi menyebabkan elemen abu yang volatil, seperti Na, S, Cl, K dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu, seperti K2CO3 dan CaCO3. Pengeringan dengan metode ini bertujuan mendapatkan berat konstan.

C.     Kadar Air
       Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis). Dalam penentuan kadar air bahan hasil pertanian biasanya dilakukan berdasarkan obot basah. Dalam perhitungan ini berlaku rumus sebagai berikut: KA = (Wa / Wb) x 100%  (Taib, 1988).

       Teknologi pengawetan bahan pangan pada dasarnya adalah berada dalam dua alternatif yaitu yang pertama menghambat enzim-enzim dan aktivitas/pertumbuhan mikroba dengan menurunkan suhunya hingga dibawah 0oC dan yang kedua adalah menurunkan kandungan air bahan pangan sehingga kurang/tidak memberi kesempatan untuk tumbuh/hidupnya mikroba dengan pengeringan/penguapan kandungan air yang ada 
di dalam maupun di permukaan bahan pangan, hingga mencapai kondisi tertentu (Suharto, 1991). 
       Salah satu metode yang digunakan untuk menetapkan kadar air pada suatu bahan adalah dengan menggunakan metode “Penetapan air dengan metode oven“, yaitu suatu metode yang dapat digunakan untuk seluruh produk makanan, kecuali produk tersebut mengandung komponen-komponen yang mudah menguap atau jika produk tersebut mengalami dekomposisi pada pemanasan 100oC – 102oC sampai diperoleh berat yang tetap (Apriyantono, 1989).
       Berdasarkan kadar air (bobot basah dan bobot kering) dan bahan basah maupun bahan setelah dikeringkan, dapat ditentukan rasio pengeringan (drying ratio) dari bahan yang dikeringkan tersebut. Besarnya “drying ratio“ dapat dihitung sebagai bobot bahan sebelum pengeringan per bobot bahan sebelum pengeringan per bobot bahan setelah pengeringan. Dapat dihitung dengan rumus: Drying ratio = bobot bahan sebelum pengeringan / bobot bahan setelah pengeringan (Winarno, 1984).
      

III.   METODE PRAKTIKUM

A.  Waktu dan Tempat
       Praktikum penentuan kadar air dan kadar abu yang dilakukan pada hari Rabu, 23 Oktober 2013, pukul 08.00 – 11.00 WITA, di Laboratorium Kimia Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.

B.  Alat dan Bahan
       Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :
-       tanur
-       oven
-       cawan
-       timbangan analitik
-       penjepit cawan
       Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :
-       biskuit
-       ikan teri
-       telur puyuh
-       tahu
-       apel

C.  Prosedur praktikum
·                Kadar Air
1.      Panaskan cawan dalam oven pada suhu 105oC.
2.      Cawan didinginkan dengan dimasukkan ke dalam desikator.
3.      Ditimbang berat kosong cawan.
4.      Bahan di masukkan ke dalam cawan, lalu ditimbang hingga 5 gram.
5.      Kemudian dipanaskan ke dalam oven selama 3 jam. 
6.      Didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.
7.      Ditimbang lagi berat cawan yang berisi bahan.
8.      Dimasukkan ke dalam oven kembali sampai berat konstan.
·                   Kadar Abu
1.    Panaskan cawan dalam tanur dengan suhu 750oC.
2.    Cawan didinginkan dengan dimasukkan ke dalam desikator.
3.    Bahan di masukkan ke dalam cawan, lalu ditimbang hingga 5 gram.
4.    Ditimbang cawan.
5.    Kemudian dipanaskan lagi ke dalam tanur dengan suhu 750oC.
6.    Didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.
7.    Ditimbang lagi berat cawan yang berisi bahan.
8.    Dihitung berat abu.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.     Hasil
       Hasil dari praktikum ini adalah :
Tabel 04. Persen jumlah kadar air dan kadar abu bahan pangan.
No
Bahan
Kadar Air
Kadar Abu
Basis Basah
Basis Kering
1.
Biskuit
1,46%
1,45%
1,16%
2.
Ikan teri
20%
17%
11,76%
3.
Apel
670,109%
87,03%
0,29%
4.
Tahu
365%
78%
0,82%
5.
Telur puyuh
552,38%
84,67%
0,94%
Sumber : Data Sekunder Praktikum ATL, 2013

B.     Pembahasan
       Bahan yang digunakan untuk praktikum ini adalah biskuit sebanyak 10 gram, yaitu 5 gram untuk pengujian kadar air, dan 5 gram lagi untuk pengujian kadar abu. Komposisi dari bahan ini adalah tepung terigu, gula, minyak nabati, tapioka, tepung kelapa, susu bubuk, garam, bahan pengembang, lesitin, dan perisa kelapa. Hal ini sesuai dengan Mayora (2011), yang mengatakan bahwa biskuit roma adalah biskuit yang bergizi dan cocok untuk keluarga. Biskuit roma memiliki komposisi, yaitu dari tepung terigu, gula, minyak nabati, tapioka, tepung kelapa, susu bubuk, garam, bahan pengembang, lesitin, dan perisa kelapa.
       Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah. Berat bahan kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap (konstan). Hal ini sesuai dengan Anonim (2010b), yang mengatakan bahwa kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen.
       Hasil praktikum mengenai kadar air menunjukkan bahwa kadar air basis basah biskuit, adalah 1,46% sedangkan kadar air basis kering biskuit, adalah 1,45%. Ini menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat di dalam biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 telah memenuhi syarat yang ada, yaitu kurang dari 5% (maksimum 5%). Hal ini sesuai dengan Rena (2013), yang menyatakan bahwa biskuit adalah kue kering yang tipis, renyah, dan keras yang dibuat tanpa peragian dengan kandungan air yang rendah kurang dari 5 %.
       Perhitungan kadar air yang terdapat pada biskuit, terlebih dahulu ditimbang bobot biskuit yang digunakan sebanyak 5 gram. Setelah itu, dipanaskan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada biskuit, sehingga didapatkan kadar air basis keringnya. Kemudian bahan didinginkan ke dalam desikator selama 10 menit. Setelah itu, ditimbang lagi berat cawan dan bahannya dengan menggunakan timbangan analitik. Lalu dikeringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat yang konstan. Hal ini sesuai dengan Winarno (1992), yang menyatakan bahwa pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110ºC selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan.
       Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Hal ini sesuai dengan Firmansyah (2011), yang mengatakan bahwa kadar abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara pengabuanya.
       Hasil praktikum mengenai kadar abu didapatkan kadar abu yang dimiliki biskuit, yaitu sebanyak 1,16%. Penilaian mutu biskuit ditinjau dari aspek ini dapat dilakukan secara laboratoris dengan analisis kimia. Syarat mutu biskuit yang telah ditetapkan oleh Departemen Perindustrian tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI. 01-2973-1992), yaitu 2% (maksimum 2%). Ini menunjukkan bahwa kandungan abu yang terdapat di dalam biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 telah memenuhi syarat yang ada, yaitu kurang dari 2% (maksimum 2%). Hal ini sesuai dengan Rena (2013), yang menyatakan bahwa biskuit adalah kue kering yang tipis, renyah, dan keras yang dibuat tanpa peragian dengan kandungan air yang rendah kurang dari 5 %.
       Perhitungan kadar abu yang terdapat pada biskuit, terlebih dahulu ditimbang bobot biskuit yang digunakan sebanyak 5 gram. Setelah itu, dipanaskan ke dalam tanur pada suhu 750oC selama 3 jam untuk menguapkan bahan-bahan yang terkandung di dalam biskuit, kecuali mineralnya. Kemudian bahan didinginkan ke dalam desikator selama 10 menit. Setelah itu, ditimbang lagi berat cawan dan bahannya dengan menggunakan timbangan analitik. Lalu dikeringkan kembali ke dalam tanur sampai diperoleh berat yang konstan. Hal ini sesuai dengan Anonim (2010a), yang mengatakan bahwa penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut.


V.    PENUTUP

A.     Kesimpulan
       Kesimpulan yang dapat diperoleh pada praktikum ini antara lain :
1.   Kadar air yang terdapat pada biskuit roma adalah basis kering 1,46% dan basis basah 1,45% dan kadar abu yang terdapat pada biskuit roma adalah 1,16%.
2.   Metode yang dilakukan untuk menganalisa kadar air adalah dengan metode oven yang bertujuan untuk menghilangkan kadar air yang terdapat dalam bahan pangan tersebut dengan suhu 105ºC.
3.  Metode yang dilakukan untuk menganalisa kadar abu adalah dengan metode tanur, dengan cara memasukkan cawan yang telah berisi bahan pangan kedalam tanur yang bersuhu 750ºC.

B.     Saran
       Sebaiknya ketika praktikan melakukan praktikum ini harus memperhatikan dengan jelas jumlah cawan dan bahan yang akan di uji kadar air dan kadar abunya agar supaya tidak keliru.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010a. Laporan Penentuan Kadar Abu. http://scribd.com. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Anonim. 2010b. Kadar Air Basis Basah dan Kadar Air Basis Kering. http://yefrichan.wordpress.com/2010/08/04/kadar-air-basis-basah-dan-kadar-air-basis-kering/. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Apriyantono, Anton, dkk. 1989. Analisis Pangan. Pusbangtepa IPB : Bogor.
Astawan, Made. 2008. Biskuithttp://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail. aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0%7C0%7C6%7C467. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Astuti. 2012. Kadar abu. https://astutipage.wordpress.com/tag/kadar-abu/. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. PT. Rineka Cipta: Yakarta.
Taib, Gunarif. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Mediyatama Sarana Perkasa: Jakarta.
Winarno. 1984. Kimia Pangan. PT. Gramedia: Jakarta.

1 komentar: