Selasa, 31 Desember 2013

AL-QUR’AN DAN PERATURAN KEHIDUPAN DENGAN TOLAK UKUR ISLAM


MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AL-QUR’AN DAN PERATURAN KEHIDUPAN DENGAN TOLAK UKUR ISLAM


OLEH :
HENRI KARTONO
G311 12 253

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012


BAB I
PEMBAHASAN
A.     Pemaknaan Al-Qur’an
Apakah itu Al-Qur’an? Bagaimana Al-Qur’an itu diwahyukan? Dan apakah ada hikmah dari dan atau diturunkannya Al-Qur’an itu sendiri bagi kita, umat manusia, umat dari Nabi Muhammad SAW ini? Lebih jelasnya akan saya jelaskan pada makalah saya ini.
Kata “Al-Qur’an” menurut bahasa berarti “bacaan”. Didalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17, 18 surat (75) Al-Qiyamaah, yang artinya,
Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quraan (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu), jika Kami telah membacakannya, hendaklah  kamu ikuti  bacaannya”.
Kemudian dipakai kata “Quraan” itu untuk Al-Qur’an yang dikenal sekarang ini. Adapun definisi Al-Qur’an ialah, “Kalam Allah S.W.T. yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan membacanya adalah sebuah ibadat.
Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nabi selain Nabi Muhammad S.A.W., tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s., atau Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa a.s.. Demikian pla dengan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudai, tidak pula dinamakan Al-Qur’an.
B.     Pewahyu-an Al-Qur’an
Nabi Muhammad SAW dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan, yaitu:
1.     Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak ada melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada sajadalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: “Ruhul qudus mewahyukan kedalam kalbuku” (lihat surat (42) Asy Syuuraa ayat 51).
2. Malaikat mampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahi dan menghafal benar akan kata-kata itu.
3.      Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa benhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zait bin Tsabit: “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa”.
4.   Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan sebelumnya, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli.  Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an surat (53) An-Najm ayat 13 dan 14, yang artinya,
Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Katika (ia berada) di Sidratulmuntaha”.
C.     Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari. Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur itu yaitu:
1.  Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang yang enggan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya sruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dalam riwayat ‘Aisyah r.a.
2.   Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan kemaslahatan. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus (Ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat dengan peristiwaperistiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4.    Memudahkan penghafalan. Oang-orang musyrik yang telah menanyakan mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat (25) Al-Furqaan ayat 32.
5. Diantara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh ibnu’Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al-Qur’an diturunkan sekaligus.
D.     Islam Dalam Kehidupan
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dengan dirinya dan dengan manusia sesamanya.
Hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian. Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah dan uqubat (sanksi).
Dengan demikian Islam merupakan mabda (prinsip ideologis) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam bukan berupa teologi. Bahkan tidak ada kaitannya sedikit pun dengan sistem kepastoran. Islam menjauhkan otokrasi/teokrasi (kediktatoran pemerintah agama). Di dalamnya Islam tidak ada istilahnya (sekelompok) ahli agama, juga tidak dijumpai istilah ahli politik. Setiap orang yang memeluk agama Islam disebut sebagai kaum muslimin. Semuanya sama dihadapan agama. Jadi di dalam Islam tidak ada istilah rohaniawan ataupun teknokrat.
Adapun yang dimaksud dengan aspek kerohanian di dalam Islam adalah, bahwa segala sesuatu itu adalah makhluk bagi Khaliq-nya, yang teratur mengikuti perintah dan kehendak Khaliq. Berdasarkan tinjauan yang mendalam tentang alam, manusia, dan hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan aspek kerohanian dan ruh. Inilah salah satu persepsi/mafhum yang benar. Di luar persepsi itu adalah salah. Tinjauan yang mendalam dan cemerlang mengenai alam, hidup, dan manusia, inilah yang telah menghantarkan kepada hasil pemikiran yang benar, serta telah menghasilkan persepsi yang benar.
Adapun yang dimaksud dengan peraturan Islam, adalah hukum-hukum syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Peraturan Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Hanya saja dalam bentuk-bentuk yang umum (garis besar), dan dengan makna-makna (petunjuk) yang umum pula. Sedangkan rinciannya dapat digali dari berbagai makna-makna umum tadi tatkala menerapkan hukum-hukum tersebut. Di dalam Al-Qur’an dan Hadits Syarif telah terhimpun garis-garis besar, yaitu mencakup berbagai keterangan umum untuk memecahkan berbagai urusan manusia secara universal. Para mujtahid diberikan kebebasan untuk menggali keterangan-keterangan umum tersebut menjadi hukum-hukum yang terperinci, tentang berbagai macam problematika yang muncul sepanjang masa dan di berbagai tempat yang berbeda.
Islam hanya memiliki satu metoda (thariqah) dalam memecahkan berbagai macam problematika, yaitu dengan cara mendorong seseorang mujtahid untuk mempelajari persoalan-persoalan yang baru, sehingga benar-benar memahaminya. Kemudian mempelajari nash-nash syara’ yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Dan pada akhirnya mengambil kesimpulan hukum untuk memecahkan persolan itu berdasarkan nash-nash syara’. Dengan kata lain seseorang mujtahid menggali hukum syara’ tentang persoalan tersebut dan dalil-dalil syar’i. secara mutlak ia tidak menempuh jalan yang lain. Namun demikian tatkala ia mempelajari persoalan tersebut, ia harus mempelajari sebagai salah satu persoalan manusia secara universal dan tidak menganggapnya sebagai persoalan ekonomi, sosial, dan pemerintahan saja, atau yang lainnya. Hal itu dilihatnya sebagai persoalan yang memerlukan ketentuan hukum syara sehingga dapat diketahui hukum Allah yang berkaitan dengannya.
E.     Meneladani Rasulullah SAW
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasullulah SAW dibagi menjadi da macam. Ada yang termasuk perbatan-perbuatan jibiliyah, yaitu perbuatan yang biasa dilakukan manusia dan ada pula perbuatan-perbuatan selain jibiliyah. Yang tergolong perbuatan jibiliyah, seperti beribadah, duduk, makan, minm, dan lain sebagainya. Tidak ada perselisihan bahwa status perbuatan tersebut adalah mubah, baik bagi Rasulullah SAW, maupan bagi umatnya. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori mandub.
Sedangkan selain perbuatan-perbuatan jibiliyah, bisa jadi tergolong khusus bagi Rasullullah SAW, yang tidak seorangpun diperkenankan mengikutinya; bias juga tidak termasuk dalam perbuatan yang khusus bagi beliau. Jika perbuatan itu khusus ditetapkan bagi beliau SAW, seperti beliau boleh melanjutkan shaum pada malam hari tanpa berbuka, atau boleh menikah dengan lebih dari empat wanita, dan lain sebagainya; maka dalam hal ini kita tidak diperkenankan mengikutinya. Perbuatan-perbuatan tersebut diperuntukkan khusus bagi beliau SAW berdasarkan ijma’ Shahabat. Oleh kerena itu tidak dibolehkan meneladani belia dalm perbuatan-perbuatan semacam ini.
Akan halnya perbuatan-perbuatan beliau yang kita kenal sebagai penjelas bagi kita, maka tidak ada perselisihan bahwa nhal itu merupakan dalil. Penjelasan tersebut bisa berupa perkataan seperti sabda beliau, yang artinya,
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.
Laksanakan manasik hajimu berdasarkan manasikku (apa yang telah aku kerjakan)”.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa perbuatan beliau merupakan penjelas, agar kita mengikutinya. Penjelasan beliau bisa juga berupa qaraain al ahwal, yakni indikasi yang menerangkan bentuk perbuatan, seperti memotong pergelangan tangan pencuri, sebagai penjelas firman Allah SWT, yang artinya,
Maka potonglah tangan keduanya (TQS. AL-Maidah [5]:38)”.
Status penjelas yang terdapat dalam perbuatan Nabi SAW, baik berupa ucapan mapun indikasi yang menerangkan bentuk perbuatan, dapat mengikuti hukum-hukum yang telah dijelaskan, apakah itu wajib, mandub atau mubah sesuai dengan arah penunjukan dalil.
Sedangkan perbuatan-perbuatan beliau yang didalamnya tidak terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa hal itu merupakan penjelas –bukan penolak dan bukan pula ketetapan- maka dalam hal ini perlu diperhatikan apakah di dalamnya terdapat maksud untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) atau tidak. Jika didalamnya terdapat keinginan untuk ber-taqarrub kepada Allah, maka perbuatan itu termasuk mandub. Seseorang akan mendapatkan pahala atas perbatannya itu dan tidak mendapatkan sanksi jika meninggalkannya. Misalnya shalat Dhuha. Dan jika di dalamnya tidak terdapat keinginan untuk ber-taqarrub, maka perbuatan tersebut termasuk mubah.
F.      As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa artinya adalah “jalan yang ditempuh”. Sedangkan menurut kepentingan syara’, As-Sunah kadang-kadang dignakan untuk menyebut suatu amalan nafilah yang kita terima dari Nabi SAW. Melalui suatu riwayat. Misalnya bilangan rakaat dalam salat sunat.  Amalam semacam ini disebut Sunah, artinya tidak termasuk dalam kategori fardhu. Namun penggunaan istilah Sunah disini bukan berarti bahwa Sunah itu berasal dari Nabi SAW, sedangkan fardhu datangnya dari Allah SWT. Yang benar adalah, baik fardhu maupun sunah keduanya berasal dari Allah SWT.
Rasulullah SAW hanya sebagai muballigh,”penyampai dari Allah”. Beliau tidak berbicara dengan hawa nafsunya, melainkan dengan wahyu yan diberikan kepadanya. Dalam hal ini walaupun amalan ini dinamakan Sunah yang kita terima dari Nabi SAW melalui riwayat, akan tetapi yang kita terima itu memang sebagai nafilah yang kemudian disebut sunah. Begitu pula halnya dengan amalan fardhu yang kita terima dari Nabi SAW sebagai fardhu yang kemudian disebut fardhu.
Misalnya dua rakaat shalat subuh adalah fardhu yang kita terima dari Nabi SAW melalui riwayat mutawatir sebagai fardhu. Sedangkan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh adalah sunah yang kita terima dari Nabi SAW melalui riwayat mutawatir sebagai nafilah. Keduanya berasal dari Allah SWT dan bukan dari diri Rasulullah SAW. Jadi, perintah itu dapat berupa fardhu dan nafilah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah, atau disebut fardhu dan mandub dalam masalah-masalah selain ibadah (mu’amalaat dan sebagainya). Dengan demikian, nafilah itu tidak lain adalah mandub itu sendiri, yang diberi nama nafilah dan disebut juga sebagai sunah.
Istilah sunah juga digunakan untuk menyebut apa yang berasal dari Rasulullah SAW, berupa dalil-dalil syara’ selain ayat Al-Qur’an. Termasuk perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan ketetapan-ketetapan beliau yaitu hal-hal yang beliau diamkan.
G.    Solusi Dalam Kegelisahan Hidup
Hidup kita ada ditangan kita sendiri. Dengan tangan kitalah kita dapat bahagia, dan di tangan kita pulalah kita dapat hidup menderita. Tidak ada seeorang pun diluar diri kita yang bertanggung jawab atas diri kita ini. Lihatlah kembali diri kita. Renungkan, dan tanyakan.
Sungguh, orang yang beriman akan selalu menghadapi perasaan cemas, risau, sedih,  dan apa saja yang tidak menyenangkan hari dengan lapang dada. Selain itu, jangan selalu meratapi kenikmatan yang hilang dari kita. Karena, apa yang ada pada kita lebih banyak daripada apa yang hilang dari kita itu. “Tinggalkan masa lalu, dan masa depan yang kelabu. Pikirkan masa kini, yang tengah kita jalani”.
Bersikap moderat dan tengah-tengah dalam rusan agama maupun dunia adalah tuntutan bagi semua orang. Yang pengimplementasiannya dapat pula kita lihat dalam
QS. AL-Baqarah: 143, yang artinya,
Dan demikianlah Kami menjadikan kamu umat yang
tengah –tengah (adil dan pilihan)
”.
Kebahagiaan kita selalu berhubungan dengan pola pikir kita dalam memandang kehidupan dan problematikanya, dan cara kita dalam menghadapi atau menangani problematika tersebut. Hiduplah pada hari yang sedang kita jalani dengan nyamandan tentram. Juga dengan ketenangan batin, sikap optimis dan harapan yang cemerlang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar