MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AL-QUR’AN
DAN PERATURAN KEHIDUPAN DENGAN TOLAK UKUR ISLAM
OLEH
:
HENRI
KARTONO
G311
12 253
PROGRAM
STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI
JURUSAN
TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pemaknaan
Al-Qur’an
Apakah
itu Al-Qur’an? Bagaimana Al-Qur’an itu diwahyukan? Dan apakah ada hikmah dari
dan atau diturunkannya Al-Qur’an itu sendiri bagi kita, umat manusia, umat dari
Nabi Muhammad SAW ini? Lebih jelasnya akan saya jelaskan pada makalah saya ini.
Kata
“Al-Qur’an” menurut bahasa berarti “bacaan”. Didalam Al-Qur’an sendiri ada
pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17, 18
surat (75) Al-Qiyamaah, yang artinya,
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quraan (di
dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan
Kami. (Karena itu), jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
bacaannya”.
Kemudian
dipakai kata “Quraan” itu untuk Al-Qur’an yang dikenal sekarang ini. Adapun
definisi Al-Qur’an ialah, “Kalam Allah S.W.T. yang merupakan mu’jizat yang
diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan membacanya adalah
sebuah ibadat.
Dengan
definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nabi selain Nabi Muhammad S.A.W., tidak dinamakan Al-Qur’an seperti
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s., atau Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa a.s.. Demikian pla
dengan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti
Hadits Qudai, tidak pula dinamakan Al-Qur’an.
B.
Pewahyu-an
Al-Qur’an
Nabi
Muhammad SAW dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan
keadaan, yaitu:
1. Malaikat
memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak ada melihat
sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada sajadalam kalbunya.
Mengenai hal ini Nabi mengatakan: “Ruhul qudus mewahyukan kedalam kalbuku” (lihat
surat (42) Asy Syuuraa ayat 51).
2. Malaikat
mampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan
kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahi dan menghafal benar akan
kata-kata itu.
3. Wahyu
datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada
keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin
yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa benhenti dan duduk karena
merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta.
Diriwayatkan oleh Zait bin Tsabit: “Aku
adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah
ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan
keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya
wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa”.
4. Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan sebelumnya, tetapi benar-benar seperti
rupanya yang asli. Hal ini tersebut
dalam Al-Qur’an surat (53) An-Najm ayat 13 dan 14, yang artinya,
“Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada
kali yang lain (kedua). Katika (ia berada) di Sidratulmuntaha”.
C.
Hikmah
Diturunkannya Al-Qur’an
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari. Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur
itu yaitu:
1. Agar lebih mudah dimengerti dan
dilaksanakan. Orang yang enggan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya
sruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh
Bukhari dalam riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh
dan ada yang mansukh, sesuai dengan kemaslahatan. Ini tidak dapat dilakukan
sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus (Ini menurut pendapat yang mengatakan
adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat dengan peristiwaperistiwa
yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Oang-orang
musyrik yang telah menanyakan mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus,
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat (25) Al-Furqaan ayat 32.
5. Diantara
ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu
pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh ibnu’Abbas r.a. Hal ini tidak
dapat terlaksana kalau Al-Qur’an diturunkan sekaligus.
D.
Islam
Dalam Kehidupan
Islam
adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dengan dirinya dan dengan manusia sesamanya.
Hubungan
manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam
perkara aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam
perkara akhlak, makanan, dan pakaian. Hubungan manusia dengan sesamanya
tercakup dalam perkara mu’amalah dan uqubat (sanksi).
Dengan
demikian Islam merupakan mabda
(prinsip ideologis) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam bukan berupa
teologi. Bahkan tidak ada kaitannya sedikit pun dengan sistem kepastoran. Islam
menjauhkan otokrasi/teokrasi (kediktatoran pemerintah agama). Di dalamnya Islam
tidak ada istilahnya (sekelompok) ahli agama, juga tidak dijumpai istilah ahli politik.
Setiap orang yang memeluk agama Islam disebut sebagai kaum muslimin. Semuanya
sama dihadapan agama. Jadi di dalam Islam tidak ada istilah rohaniawan ataupun
teknokrat.
Adapun
yang dimaksud dengan aspek kerohanian di dalam Islam adalah, bahwa segala
sesuatu itu adalah makhluk bagi Khaliq-nya,
yang teratur mengikuti perintah dan kehendak Khaliq. Berdasarkan tinjauan yang mendalam tentang alam, manusia,
dan hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan aspek kerohanian dan
ruh. Inilah salah satu persepsi/mafhum
yang benar. Di luar persepsi itu adalah salah. Tinjauan yang mendalam dan
cemerlang mengenai alam, hidup, dan manusia, inilah yang telah menghantarkan
kepada hasil pemikiran yang benar, serta telah menghasilkan persepsi yang
benar.
Adapun
yang dimaksud dengan peraturan Islam, adalah hukum-hukum syariat yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Peraturan Islam mencakup seluruh aspek
kehidupan. Hanya saja dalam bentuk-bentuk yang umum (garis besar), dan dengan
makna-makna (petunjuk) yang umum pula. Sedangkan rinciannya dapat digali dari
berbagai makna-makna umum tadi tatkala menerapkan hukum-hukum tersebut. Di dalam
Al-Qur’an dan Hadits Syarif telah terhimpun garis-garis besar, yaitu mencakup
berbagai keterangan umum untuk memecahkan berbagai urusan manusia secara
universal. Para mujtahid diberikan
kebebasan untuk menggali keterangan-keterangan umum tersebut menjadi
hukum-hukum yang terperinci, tentang berbagai macam problematika yang muncul
sepanjang masa dan di berbagai tempat yang berbeda.
Islam
hanya memiliki satu metoda (thariqah)
dalam memecahkan berbagai macam problematika, yaitu dengan cara mendorong seseorang mujtahid untuk mempelajari persoalan-persoalan yang baru, sehingga benar-benar memahaminya. Kemudian
mempelajari nash-nash syara’ yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Dan pada
akhirnya mengambil kesimpulan hukum untuk memecahkan persolan itu berdasarkan
nash-nash syara’. Dengan kata lain seseorang mujtahid menggali hukum syara’
tentang persoalan tersebut dan dalil-dalil syar’i. secara mutlak ia tidak
menempuh jalan yang lain. Namun demikian tatkala ia mempelajari persoalan
tersebut, ia harus mempelajari sebagai salah satu persoalan manusia secara
universal dan tidak menganggapnya sebagai persoalan ekonomi, sosial, dan
pemerintahan saja, atau yang lainnya. Hal itu dilihatnya sebagai persoalan yang
memerlukan ketentuan hukum syara sehingga dapat diketahui hukum Allah yang
berkaitan dengannya.
E.
Meneladani
Rasulullah SAW
Perbuatan-perbuatan
yang dilakukan Rasullulah SAW dibagi menjadi da macam. Ada yang termasuk
perbatan-perbuatan jibiliyah, yaitu
perbuatan yang biasa dilakukan manusia dan ada pula perbuatan-perbuatan selain jibiliyah. Yang tergolong perbuatan jibiliyah, seperti beribadah, duduk,
makan, minm, dan lain sebagainya. Tidak ada perselisihan bahwa status perbuatan
tersebut adalah mubah, baik bagi
Rasulullah SAW, maupan bagi umatnya. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan
tersebut tidak termasuk dalam kategori mandub.
Sedangkan
selain perbuatan-perbuatan jibiliyah,
bisa jadi tergolong khusus bagi Rasullullah SAW, yang tidak seorangpun
diperkenankan mengikutinya; bias juga tidak termasuk dalam perbuatan yang khusus bagi beliau. Jika perbuatan itu khusus ditetapkan
bagi beliau SAW, seperti beliau boleh melanjutkan shaum pada malam hari tanpa berbuka, atau boleh menikah dengan
lebih dari empat wanita, dan lain sebagainya; maka dalam hal ini kita tidak
diperkenankan mengikutinya. Perbuatan-perbuatan tersebut diperuntukkan khusus
bagi beliau SAW berdasarkan ijma’ Shahabat.
Oleh kerena itu tidak dibolehkan meneladani belia dalm perbuatan-perbuatan semacam ini.
Akan
halnya perbuatan-perbuatan beliau yang kita kenal sebagai penjelas bagi kita,
maka tidak ada perselisihan bahwa nhal itu merupakan dalil. Penjelasan tersebut
bisa berupa perkataan seperti sabda beliau, yang artinya,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat”.
“Laksanakan manasik hajimu berdasarkan manasikku (apa yang telah aku
kerjakan)”.
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa perbuatan beliau merupakan penjelas, agar kita
mengikutinya. Penjelasan beliau bisa juga berupa qaraain al ahwal, yakni indikasi yang menerangkan bentuk perbuatan,
seperti memotong pergelangan tangan pencuri, sebagai penjelas firman Allah SWT,
yang artinya,
“Maka potonglah tangan keduanya (TQS.
AL-Maidah [5]:38)”.
Status
penjelas yang terdapat dalam perbuatan Nabi SAW, baik berupa ucapan mapun
indikasi yang menerangkan bentuk perbuatan, dapat mengikuti hukum-hukum yang
telah dijelaskan, apakah itu wajib, mandub
atau mubah sesuai dengan arah penunjukan dalil.
Sedangkan
perbuatan-perbuatan beliau yang didalamnya tidak terdapat indikasi yang
menunjukkan bahwa hal itu merupakan penjelas –bukan penolak dan bukan pula
ketetapan- maka dalam hal ini perlu diperhatikan apakah di dalamnya terdapat
maksud untuk ber-taqarrub
(mendekatkan diri kepada Allah) atau tidak. Jika didalamnya terdapat keinginan
untuk ber-taqarrub kepada Allah, maka
perbuatan itu termasuk mandub.
Seseorang akan mendapatkan pahala atas perbatannya itu dan tidak mendapatkan
sanksi jika meninggalkannya. Misalnya shalat Dhuha. Dan jika di dalamnya tidak
terdapat keinginan untuk ber-taqarrub,
maka perbuatan tersebut termasuk mubah.
F. As-Sunnah
As-Sunnah
menurut bahasa artinya adalah “jalan yang ditempuh”. Sedangkan menurut
kepentingan syara’, As-Sunah kadang-kadang dignakan untuk menyebut suatu amalan
nafilah yang kita terima dari Nabi
SAW. Melalui suatu riwayat. Misalnya bilangan rakaat dalam salat sunat. Amalam semacam ini disebut Sunah, artinya
tidak termasuk dalam kategori fardhu.
Namun penggunaan istilah Sunah disini bukan berarti bahwa Sunah itu berasal dari
Nabi SAW, sedangkan fardhu datangnya
dari Allah SWT. Yang benar adalah, baik fardhu
maupun sunah keduanya berasal dari Allah SWT.
Rasulullah
SAW hanya sebagai muballigh,”penyampai
dari Allah”. Beliau tidak berbicara dengan hawa nafsunya, melainkan dengan
wahyu yan diberikan kepadanya. Dalam hal ini walaupun amalan ini dinamakan
Sunah yang kita terima dari Nabi SAW melalui riwayat, akan tetapi yang kita
terima itu memang sebagai nafilah
yang kemudian disebut sunah. Begitu pula halnya dengan amalan fardhu yang kita
terima dari Nabi SAW sebagai fardhu
yang kemudian disebut fardhu.
Misalnya
dua rakaat shalat subuh adalah fardhu
yang kita terima dari Nabi SAW melalui riwayat mutawatir sebagai fardhu.
Sedangkan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh adalah sunah yang kita terima
dari Nabi SAW melalui riwayat mutawatir sebagai
nafilah. Keduanya berasal dari Allah
SWT dan bukan dari diri Rasulullah SAW. Jadi, perintah itu dapat berupa fardhu dan nafilah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah, atau
disebut fardhu dan mandub dalam masalah-masalah selain ibadah
(mu’amalaat dan sebagainya). Dengan demikian, nafilah itu tidak lain adalah mandub itu sendiri, yang diberi nama nafilah dan disebut juga sebagai sunah.
Istilah
sunah juga digunakan untuk menyebut apa yang berasal dari Rasulullah SAW, berupa
dalil-dalil syara’ selain ayat Al-Qur’an. Termasuk perkataan Nabi SAW,
perbuatan, dan ketetapan-ketetapan beliau yaitu hal-hal yang beliau diamkan.
G. Solusi Dalam Kegelisahan Hidup
Hidup
kita ada ditangan kita sendiri. Dengan tangan kitalah kita dapat bahagia, dan
di tangan kita pulalah kita dapat hidup menderita. Tidak ada seeorang pun
diluar diri kita yang bertanggung jawab atas diri kita ini. Lihatlah kembali
diri kita. Renungkan, dan tanyakan.
Sungguh,
orang yang beriman akan selalu menghadapi perasaan cemas, risau, sedih, dan apa saja yang tidak menyenangkan hari
dengan lapang dada. Selain itu, jangan selalu meratapi kenikmatan yang hilang
dari kita. Karena, apa yang ada pada kita lebih banyak daripada apa yang hilang
dari kita itu. “Tinggalkan masa lalu, dan masa depan yang kelabu. Pikirkan masa
kini, yang tengah kita jalani”.
Bersikap moderat dan tengah-tengah
dalam rusan agama maupun dunia adalah tuntutan bagi semua orang. Yang pengimplementasiannya dapat pula kita lihat dalam
QS. AL-Baqarah: 143, yang artinya,
QS. AL-Baqarah: 143, yang artinya,
“Dan demikianlah Kami menjadikan kamu umat yang
tengah –tengah (adil dan pilihan)”.
tengah –tengah (adil dan pilihan)”.
Kebahagiaan kita
selalu berhubungan dengan pola pikir kita dalam memandang kehidupan dan
problematikanya, dan cara kita dalam menghadapi atau menangani problematika
tersebut. Hiduplah pada hari yang sedang kita jalani dengan nyamandan tentram.
Juga dengan ketenangan batin, sikap optimis dan harapan yang cemerlang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar