I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pengukuran kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam berbagai
bidang. Salah satu bidang yang memerlukan pengukuran kadar air adalah bidang
pertanian. Mutu suatu bahan pangan ditentukan oleh kadar airnya, semakin tinggi
kadar airnya, mutunya semakin jelek.
Selain itu, kita juga perlu mengetahui penentuan kadar abu. Penentuan kadar
abu digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau
tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai
penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Kandungan abu juga dapat digunakan
untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan.
Oleh karena itu, praktikum ini perlu
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kandungan air dan kandungan abu yang
terdapat pada suatu bahan pangan dan metode yang digunakannya masing-masing.
B.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini, yaitu:
1.
Untuk
mengetahui kadar air dan kadar abu yang terdapat pada biskuit.
2.
Untuk
mengetahui cara menganalisa kadar air.
3.
Untuk
mengetahui cara menganalisa kadar abu.
Kegunaan dari praktikum ini, adalah agar kita dapat mengetahui cara
untuk menghitung kadar air dan kadar abu pada suatu bahan pangan, yang pada
dasarnya juga digunakan sebagai parameter penentu nilai gizi bahan pangan
tersebut.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
A. Biskuit
Biskuit merupakan makanan
kering yang tergolong makanan panggang atau kue kering. Biskuit biasanya dibuat
dari bahan dasar tepung terigu atau tepung jenis lainnya. Biasanya, dalam
proses pembuatan biskuit, ditambahkan lemak atau minyak yang berfungsi untuk
melembutkan atau membuat renyah, sehingga menjadi lebih lezat. Dalam pembuatan
biskuit juga ditambahkan gula yang berfungsi sebagai pemanis dan memberikan
tekstur yang halus. Jenis gula yang digunakan biasanya adalah gula halus. Garam
juga merupakan bumbu penting untuk menguatkan rasa di lidah. Bahan tambahan
pangan lain yang sering digunakan adalah soda kue, air, susu, dan perasa
(flavor) (Astawan, 2008).
Proses pembuatan biskuit
cukup mudah. Formulasi adonan merupakan tahap awal yang sangat penting karena
menentukan mutu yang dihasilkan. Setelah ditemukan formula yang tepat, adonan
kemudian dicampur atau diaduk. Tujuan pengadukan agar adonan dapat mengembang
dan memiliki tekstur halus. Proses pencampuran formula tidak boleh dilakukan
dengan sembarangan. Untuk menghasilkan adonan yang baik, semua bahan, kecuali
tepung, diaduk dengan mikser sampai tercampur halus, baru kemudian diaduk lagi
bersama-sama (Astawan, 2008).
Segera setelah proses
pencampuran selesai, adonan harus dicetak maksimal 30 menit kemudian. Bila dibiarkan terlalu lama, adonan dapat menyerap air dari lingkungan, sehingga memengaruhi pengembangan
atau menjadi keras karena terjadi penguapan air. Adonan yang telah dicetak kemudian dipanggang dalam oven. Biasanya pemanggangan biskuit berlangsung antara 2,5 hingga 30 menit. Setelah itu biskuit didinginkan
dan dikemas (Astawan, 2008).
Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 (1992), yaitu:
1)
Air
: Maksimum 5 %
2)
Protein
: Minimum 9 %
3)
Lemak
: Minimum 9,5 %
4)
Karbohidrat
: Minimum 70 %
5)
Abu
: Maksimum 1,6 %
6)
Logam
Berbahaya : Tidak Terdapat/negatif
7)
Serat
Kasar : Maksimum 0,5 %
8)
Kalori
(kal/100 g) : Minimum 400
9)
Jenis
Tepung : Terigu
10)
Bau
dan Rasa : Normal, tidak tengik
B.
Kadar
Abu
Kadar abu merupakan campuran dari
komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu.
Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan.
Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen
anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Produk perikanan
memiliki kadar abu yang berbeda-beda. Standar mutu ikan segar berdasar SNI
01-2354.1-2006, ialah memiliki kadar abu kurang dari 2%. Produk olahan hasil
diversifikasi dari jelly fish product (kamaboko)
yang tidak diolah menjadi surimi dahulu memiliki standar kadar abu antara 0,44
– 0,69% menurut SNI 01-2693-1992. Contoh
jelly fish product,
yakni otak-otak, bakso dan kaki naga (Astuti, 2012).
Penentuan kadar abu total dapat
digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau
tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai
penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penggilingan gandum,
misalnya, apabila masih banyak lembaga dan endosperm maka kadar abu yang
dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan endosperm pada gandum menandakan
proses pengolahan kurang baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor
yang menyebabkan hasil analisis kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu
juga dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan.
Kadar abu sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak
larut asam yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor
pada makanan tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara menurut Astuti (2012), yaitu pengabuan cara langsung (cara kering) dan
pengabuan cara tidak langsung (cara basah).
a) Penentuan kadar abu secara langsung
Prinsip pengabuan cara langsung yaitu
semua zat organik dioksidasi pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600oC, kemudian zat yang tertinggal setelah proses
pembakaran ditimbang. Mekanisme pengabuan cara langsung yaitu cawan porselen
dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30
menit dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram. Setelah
itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat
sebagai berat b gram. Pengabuan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pemanasan pada
suhu 300oC agar kandungan bahan volatil dan lemak terlindungi
hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan hingga asam habis.
Selanjutnya, pemanasan pada suhu bertahap hingga 600oC agar perubahan suhu secara tiba-tiba tidak
menyebabkan cawan menjadi pecah.
b) Penentuan kadar abu secara tidak
langsung
Prinsip pengabuan cara tidak langsung
yaitu bahan ditambahkan reagen kimia tertentu sebelum dilakukan pengabuan.
Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol atau pasir bebas anorganik yang selanjutnya dipanaskan dalam suhu tinggi. Pemanasan menyebabkan
gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas
bahan menjadi besar dan memperbesar oksidasi. Pemanasan pada pasir bebas dapat
membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan
memperbesar porositas sehingga proses pengabuan semakin cepat.
Mekanisme pengabuan cara tidak langsung
yaitu cawan porselen dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan
didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai
berat a gram. Setelah itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan,
ditimbang dan dicatat sebagai berat b gram. Gliserol alkohol ditambahkan dalam
cawan sebanyak 5 ml dan dimasukan dalam tanur pengabuan hingga putih
keabu-abuan. Abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari. Cawan
porselen dioven terlebih dahulu untuk mengeringkan air yang mungkin terserap
saat disimpan dalam muffle lalu dimasukan ke desikator. Penimbangan cawan
setelah pengabuan dicatat sebagi berat c gram. Suhu yang tinggi
menyebabkan elemen abu yang volatil, seperti Na, S, Cl, K dan P menguap.
Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu, seperti K2CO3 dan CaCO3. Pengeringan
dengan metode ini bertujuan mendapatkan berat konstan.
C.
Kadar
Air
Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar
air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis). Dalam
penentuan kadar air bahan hasil pertanian biasanya dilakukan berdasarkan obot basah. Dalam perhitungan ini berlaku rumus sebagai berikut: KA
= (Wa / Wb) x 100% (Taib, 1988).
Teknologi pengawetan bahan pangan pada dasarnya adalah berada dalam dua
alternatif yaitu yang pertama menghambat enzim-enzim dan aktivitas/pertumbuhan
mikroba dengan menurunkan suhunya hingga dibawah 0oC dan yang kedua
adalah menurunkan kandungan air bahan pangan sehingga kurang/tidak memberi
kesempatan untuk tumbuh/hidupnya mikroba dengan pengeringan/penguapan kandungan
air yang ada
di dalam maupun di permukaan bahan pangan, hingga mencapai kondisi tertentu (Suharto, 1991).
Salah satu metode yang digunakan untuk menetapkan kadar air pada suatu bahan adalah dengan menggunakan metode “Penetapan air dengan metode
oven“, yaitu suatu metode yang dapat digunakan untuk seluruh produk makanan, kecuali produk tersebut mengandung
komponen-komponen yang mudah menguap atau jika produk tersebut mengalami
dekomposisi pada pemanasan 100oC – 102oC sampai diperoleh
berat yang tetap (Apriyantono, 1989).
Berdasarkan kadar air (bobot basah dan bobot kering) dan bahan basah
maupun bahan setelah dikeringkan, dapat ditentukan rasio pengeringan (drying
ratio) dari bahan yang dikeringkan tersebut. Besarnya “drying ratio“
dapat dihitung sebagai bobot bahan sebelum pengeringan per bobot bahan sebelum
pengeringan per bobot bahan setelah pengeringan. Dapat dihitung dengan
rumus: Drying ratio = bobot bahan sebelum pengeringan / bobot
bahan setelah pengeringan (Winarno, 1984).
III.
METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum penentuan kadar air dan kadar abu yang dilakukan pada hari Rabu, 23 Oktober
2013, pukul 08.00 – 11.00 WITA, di Laboratorium Kimia Analisa dan Pengawasan
Mutu Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum
ini yaitu :
-
tanur
-
oven
-
cawan
-
timbangan
analitik
-
penjepit
cawan
Bahan yang digunakan dalam praktikum
ini yaitu :
-
biskuit
-
ikan
teri
- telur puyuh
- tahu
-
apel
C. Prosedur
praktikum
·
Kadar
Air
1. Panaskan cawan dalam
oven pada suhu 105oC.
2. Cawan didinginkan
dengan dimasukkan ke dalam desikator.
3. Ditimbang berat
kosong cawan.
4. Bahan di masukkan ke
dalam cawan, lalu ditimbang hingga 5 gram.
5. Kemudian dipanaskan
ke dalam oven selama 3 jam.
6. Didinginkan di dalam
desikator selama 10 menit.
7. Ditimbang lagi berat
cawan yang berisi bahan.
8. Dimasukkan ke dalam
oven kembali sampai berat konstan.
· Kadar
Abu
1. Panaskan cawan dalam
tanur dengan suhu 750oC.
2. Cawan didinginkan
dengan dimasukkan ke dalam desikator.
3. Bahan di masukkan ke
dalam cawan, lalu ditimbang hingga 5 gram.
4. Ditimbang cawan.
5. Kemudian dipanaskan
lagi ke dalam tanur dengan suhu 750oC.
6. Didinginkan di dalam
desikator selama 10 menit.
7. Ditimbang lagi berat
cawan yang berisi bahan.
8. Dihitung berat abu.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil dari praktikum ini adalah :
Tabel
04. Persen jumlah kadar air dan kadar abu bahan pangan.
No
|
Bahan
|
Kadar Air
|
Kadar Abu
|
|
Basis Basah
|
Basis Kering
|
|||
1.
|
Biskuit
|
1,46%
|
1,45%
|
1,16%
|
2.
|
Ikan teri
|
20%
|
17%
|
11,76%
|
3.
|
Apel
|
670,109%
|
87,03%
|
0,29%
|
4.
|
Tahu
|
365%
|
78%
|
0,82%
|
5.
|
Telur puyuh
|
552,38%
|
84,67%
|
0,94%
|
Sumber
: Data Sekunder Praktikum ATL, 2013
B. Pembahasan
Bahan yang digunakan untuk
praktikum ini adalah biskuit sebanyak 10 gram, yaitu 5 gram untuk pengujian kadar air, dan 5 gram lagi untuk
pengujian kadar abu. Komposisi dari bahan ini adalah tepung terigu, gula, minyak nabati, tapioka, tepung kelapa, susu bubuk, garam, bahan
pengembang, lesitin, dan perisa kelapa. Hal ini sesuai dengan Mayora (2011), yang mengatakan bahwa biskuit roma adalah biskuit yang bergizi dan cocok untuk keluarga. Biskuit roma memiliki komposisi,
yaitu dari tepung terigu, gula, minyak nabati, tapioka, tepung kelapa, susu bubuk, garam, bahan pengembang, lesitin, dan perisa kelapa.
Kadar air merupakan
salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya air yang terkandung
di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air
terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang disebut
dengan kadar air basis basah. Berat bahan kering atau padatan adalah berat
bahan setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya
tetap (konstan). Hal ini sesuai dengan Anonim (2010b), yang mengatakan bahwa kadar
air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan
berdasarkan berat basah (wet basis)
atau berdasarkan berat kering (dry basis).
Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen,
sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen.
Hasil praktikum mengenai kadar air
menunjukkan bahwa kadar air basis basah biskuit, adalah 1,46% sedangkan kadar
air basis kering biskuit, adalah 1,45%. Ini menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat di dalam biskuit
berdasarkan SNI 01-2973-1992 telah memenuhi
syarat yang ada, yaitu kurang dari 5% (maksimum 5%). Hal ini sesuai dengan Rena (2013), yang menyatakan bahwa biskuit adalah kue kering yang tipis, renyah, dan keras yang dibuat tanpa peragian dengan kandungan air yang
rendah kurang dari 5 %.
Perhitungan kadar air yang terdapat pada
biskuit, terlebih dahulu ditimbang bobot biskuit yang digunakan sebanyak 5 gram. Setelah itu, dipanaskan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada biskuit, sehingga didapatkan
kadar air basis keringnya. Kemudian bahan didinginkan ke dalam desikator selama
10 menit. Setelah itu, ditimbang lagi berat cawan dan bahannya dengan
menggunakan timbangan analitik. Lalu dikeringkan kembali ke dalam oven sampai
diperoleh berat yang konstan. Hal ini sesuai dengan Winarno (1992), yang
menyatakan bahwa pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan
mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110ºC selama 3 jam atau sampai
didapat berat yang konstan.
Kadar abu merupakan campuran dari
komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan
kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk
menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Hal ini sesuai dengan Firmansyah (2011), yang
mengatakan bahwa kadar abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan
komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara pengabuanya.
Hasil praktikum mengenai kadar abu
didapatkan kadar abu yang dimiliki biskuit, yaitu sebanyak 1,16%. Penilaian
mutu biskuit ditinjau dari aspek ini dapat dilakukan secara laboratoris dengan
analisis kimia. Syarat mutu biskuit yang telah ditetapkan oleh Departemen
Perindustrian tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI. 01-2973-1992),
yaitu 2% (maksimum 2%). Ini menunjukkan bahwa kandungan abu yang terdapat di
dalam biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992
telah memenuhi syarat yang ada, yaitu kurang dari 2% (maksimum 2%). Hal ini sesuai
dengan Rena (2013), yang menyatakan bahwa biskuit adalah kue kering yang tipis,
renyah, dan keras yang dibuat tanpa peragian dengan kandungan air yang rendah kurang dari 5
%.
Perhitungan kadar abu yang
terdapat pada biskuit, terlebih dahulu ditimbang bobot biskuit yang digunakan sebanyak 5 gram. Setelah itu, dipanaskan ke dalam tanur pada suhu 750oC selama 3 jam untuk menguapkan bahan-bahan yang terkandung di dalam biskuit, kecuali mineralnya. Kemudian bahan didinginkan ke dalam desikator selama 10 menit. Setelah itu, ditimbang lagi berat cawan dan bahannya dengan
menggunakan timbangan analitik. Lalu dikeringkan kembali ke dalam tanur sampai
diperoleh berat yang konstan. Hal ini sesuai dengan Anonim (2010a), yang mengatakan bahwa penentuan kadar abu adalah
mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600°C
dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh pada praktikum ini antara
lain :
1.
Kadar
air yang terdapat pada biskuit roma adalah basis kering 1,46% dan basis basah
1,45% dan kadar abu yang terdapat pada biskuit roma adalah 1,16%.
2.
Metode
yang dilakukan untuk menganalisa kadar air adalah dengan metode oven yang
bertujuan untuk menghilangkan kadar air yang terdapat dalam bahan pangan
tersebut dengan suhu 105ºC.
3. Metode
yang dilakukan untuk menganalisa kadar abu adalah dengan metode tanur, dengan
cara memasukkan cawan yang telah berisi bahan pangan kedalam tanur yang bersuhu
750ºC.
B. Saran
Sebaiknya ketika praktikan melakukan
praktikum ini harus memperhatikan dengan jelas jumlah cawan dan bahan yang akan
di uji kadar air dan kadar abunya agar supaya tidak keliru.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010a. Laporan
Penentuan Kadar Abu. http://scribd.com. Diakses
pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Anonim. 2010b. Kadar Air Basis Basah dan Kadar Air Basis Kering.
http://yefrichan.wordpress.com/2010/08/04/kadar-air-basis-basah-dan-kadar-air-basis-kering/. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013.
Makassar.
Apriyantono, Anton, dkk. 1989. Analisis Pangan.
Pusbangtepa IPB : Bogor.
Astawan,
Made. 2008. Biskuit. http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.
aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0%7C0%7C6%7C467. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober
2013. Makassar.
Astuti. 2012. Kadar abu. https://astutipage.wordpress.com/tag/kadar-abu/. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober
2013. Makassar.
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. PT. Rineka Cipta: Yakarta.
Taib, Gunarif. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil
Pertanian. PT. Mediyatama Sarana Perkasa: Jakarta.
Winarno. 1984. Kimia Pangan. PT. Gramedia: Jakarta.