Senin, 15 Juni 2015

Penentuan Kadar Air dan Kadar Abu

I.  PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
       Pengukuran kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam berbagai bidang. Salah satu bidang yang memerlukan pengukuran kadar air adalah bidang pertanian. Mutu suatu bahan pangan ditentukan oleh kadar airnya, semakin tinggi kadar airnya, mutunya semakin jelek.
       Selain itu, kita juga perlu mengetahui penentuan kadar abu. Penentuan kadar abu digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan.
      Oleh karena itu, praktikum ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kandungan air dan kandungan abu yang terdapat pada suatu bahan pangan dan metode yang digunakannya masing-masing.

B.     Tujuan dan Kegunaan
       Tujuan dari praktikum ini, yaitu:
1.    Untuk mengetahui kadar air dan kadar abu yang terdapat pada biskuit.
2.    Untuk mengetahui cara menganalisa kadar air.
3.    Untuk mengetahui cara menganalisa kadar abu.
       Kegunaan dari praktikum ini, adalah agar kita dapat mengetahui cara untuk menghitung kadar air dan kadar abu pada suatu bahan pangan, yang pada dasarnya juga digunakan sebagai parameter penentu nilai gizi bahan pangan tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A.     Biskuit
       Biskuit merupakan makanan kering yang tergolong makanan panggang atau kue kering. Biskuit biasanya dibuat dari bahan dasar tepung terigu atau tepung jenis lainnya. Biasanya, dalam proses pembuatan biskuit, ditambahkan lemak atau minyak yang berfungsi untuk melembutkan atau membuat renyah, sehingga menjadi lebih lezat. Dalam pembuatan biskuit juga ditambahkan gula yang berfungsi sebagai pemanis dan memberikan tekstur yang halus. Jenis gula yang digunakan biasanya adalah gula halus. Garam juga merupakan bumbu penting untuk menguatkan rasa di lidah. Bahan tambahan pangan lain yang sering digunakan adalah soda kue, air, susu, dan perasa (flavor) (Astawan, 2008).
       Proses pembuatan biskuit cukup mudah. Formulasi adonan merupakan tahap awal yang sangat penting karena menentukan mutu yang dihasilkan. Setelah ditemukan formula yang tepat, adonan kemudian dicampur atau diaduk. Tujuan pengadukan agar adonan dapat mengembang dan memiliki tekstur halus. Proses pencampuran formula tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Untuk menghasilkan adonan yang baik, semua bahan, kecuali tepung, diaduk dengan mikser sampai tercampur halus, baru kemudian diaduk lagi bersama-sama (Astawan, 2008).
        Segera setelah proses pencampuran selesai, adonan harus dicetak maksimal 30 menit kemudian. Bila dibiarkan terlalu lama, adonan dapat menyerap air dari lingkungan, sehingga memengaruhi pengembangan atau menjadi keras karena terjadi penguapan air. Adonan yang telah dicetak kemudian dipanggang dalam oven. Biasanya pemanggangan biskuit berlangsung antara 2,5 hingga 30 menit. Setelah itu biskuit didinginkan dan dikemas (Astawan, 2008).
       Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 (1992), yaitu:
1)      Air : Maksimum 5 %
2)      Protein : Minimum 9 %
3)      Lemak : Minimum 9,5 %
4)      Karbohidrat : Minimum 70 %
5)      Abu : Maksimum 1,6 %
6)      Logam Berbahaya : Tidak Terdapat/negatif
7)      Serat Kasar : Maksimum 0,5 %
8)      Kalori (kal/100 g) : Minimum 400
9)      Jenis Tepung : Terigu
10)   Bau dan Rasa : Normal, tidak tengik
B.     Kadar Abu
       Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Produk perikanan memiliki kadar abu yang berbeda-beda. Standar mutu ikan segar berdasar SNI 01-2354.1-2006, ialah memiliki kadar abu kurang dari 2%. Produk olahan hasil diversifikasi dari  jelly fish product (kamaboko) yang tidak diolah menjadi surimi dahulu memiliki standar kadar abu antara 0,44 – 0,69% menurut SNI 01-2693-1992. Contoh  jelly fish product, yakni otak-otak, bakso dan kaki naga (Astuti, 2012).
       Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penggilingan gandum, misalnya, apabila masih banyak lembaga dan endosperm maka kadar abu yang dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan endosperm pada gandum menandakan proses pengolahan kurang baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor yang menyebabkan hasil analisis kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar abu sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada makanan tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara menurut Astuti (2012), yaitu pengabuan cara langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara basah).
a)      Penentuan kadar abu secara langsung
       Prinsip pengabuan cara langsung yaitu semua zat organik dioksidasi pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600oC, kemudian zat yang tertinggal setelah proses pembakaran ditimbang. Mekanisme pengabuan cara langsung yaitu cawan porselen dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram. Setelah itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai berat b gram. Pengabuan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pemanasan pada suhu 300oC agar kandungan bahan volatil dan lemak terlindungi hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan hingga asam habis. Selanjutnya, pemanasan pada suhu bertahap hingga 600oC agar perubahan suhu secara tiba-tiba tidak menyebabkan cawan menjadi pecah.
b)      Penentuan kadar abu secara tidak langsung
       Prinsip pengabuan cara tidak langsung yaitu bahan ditambahkan reagen kimia tertentu sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol atau pasir bebas anorganik yang selanjutnya dipanaskan dalam suhu tinggi. Pemanasan menyebabkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan memperbesar oksidasi. Pemanasan pada pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas sehingga proses pengabuan semakin cepat.
       Mekanisme pengabuan cara tidak langsung yaitu cawan porselen dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram. Setelah itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai berat b gram. Gliserol alkohol ditambahkan dalam cawan sebanyak 5 ml dan dimasukan dalam tanur pengabuan hingga putih keabu-abuan. Abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari. Cawan porselen dioven terlebih dahulu untuk mengeringkan air yang mungkin terserap saat disimpan dalam muffle lalu dimasukan ke desikator. Penimbangan cawan setelah pengabuan dicatat sebagi berat c gram.  Suhu yang tinggi menyebabkan elemen abu yang volatil, seperti Na, S, Cl, K dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu, seperti K2CO3 dan CaCO3. Pengeringan dengan metode ini bertujuan mendapatkan berat konstan.

C.     Kadar Air
       Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis). Dalam penentuan kadar air bahan hasil pertanian biasanya dilakukan berdasarkan obot basah. Dalam perhitungan ini berlaku rumus sebagai berikut: KA = (Wa / Wb) x 100%  (Taib, 1988).

       Teknologi pengawetan bahan pangan pada dasarnya adalah berada dalam dua alternatif yaitu yang pertama menghambat enzim-enzim dan aktivitas/pertumbuhan mikroba dengan menurunkan suhunya hingga dibawah 0oC dan yang kedua adalah menurunkan kandungan air bahan pangan sehingga kurang/tidak memberi kesempatan untuk tumbuh/hidupnya mikroba dengan pengeringan/penguapan kandungan air yang ada 
di dalam maupun di permukaan bahan pangan, hingga mencapai kondisi tertentu (Suharto, 1991). 
       Salah satu metode yang digunakan untuk menetapkan kadar air pada suatu bahan adalah dengan menggunakan metode “Penetapan air dengan metode oven“, yaitu suatu metode yang dapat digunakan untuk seluruh produk makanan, kecuali produk tersebut mengandung komponen-komponen yang mudah menguap atau jika produk tersebut mengalami dekomposisi pada pemanasan 100oC – 102oC sampai diperoleh berat yang tetap (Apriyantono, 1989).
       Berdasarkan kadar air (bobot basah dan bobot kering) dan bahan basah maupun bahan setelah dikeringkan, dapat ditentukan rasio pengeringan (drying ratio) dari bahan yang dikeringkan tersebut. Besarnya “drying ratio“ dapat dihitung sebagai bobot bahan sebelum pengeringan per bobot bahan sebelum pengeringan per bobot bahan setelah pengeringan. Dapat dihitung dengan rumus: Drying ratio = bobot bahan sebelum pengeringan / bobot bahan setelah pengeringan (Winarno, 1984).
      

III.   METODE PRAKTIKUM

A.  Waktu dan Tempat
       Praktikum penentuan kadar air dan kadar abu yang dilakukan pada hari Rabu, 23 Oktober 2013, pukul 08.00 – 11.00 WITA, di Laboratorium Kimia Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.

B.  Alat dan Bahan
       Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :
-       tanur
-       oven
-       cawan
-       timbangan analitik
-       penjepit cawan
       Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :
-       biskuit
-       ikan teri
-       telur puyuh
-       tahu
-       apel

C.  Prosedur praktikum
·                Kadar Air
1.      Panaskan cawan dalam oven pada suhu 105oC.
2.      Cawan didinginkan dengan dimasukkan ke dalam desikator.
3.      Ditimbang berat kosong cawan.
4.      Bahan di masukkan ke dalam cawan, lalu ditimbang hingga 5 gram.
5.      Kemudian dipanaskan ke dalam oven selama 3 jam. 
6.      Didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.
7.      Ditimbang lagi berat cawan yang berisi bahan.
8.      Dimasukkan ke dalam oven kembali sampai berat konstan.
·                   Kadar Abu
1.    Panaskan cawan dalam tanur dengan suhu 750oC.
2.    Cawan didinginkan dengan dimasukkan ke dalam desikator.
3.    Bahan di masukkan ke dalam cawan, lalu ditimbang hingga 5 gram.
4.    Ditimbang cawan.
5.    Kemudian dipanaskan lagi ke dalam tanur dengan suhu 750oC.
6.    Didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.
7.    Ditimbang lagi berat cawan yang berisi bahan.
8.    Dihitung berat abu.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.     Hasil
       Hasil dari praktikum ini adalah :
Tabel 04. Persen jumlah kadar air dan kadar abu bahan pangan.
No
Bahan
Kadar Air
Kadar Abu
Basis Basah
Basis Kering
1.
Biskuit
1,46%
1,45%
1,16%
2.
Ikan teri
20%
17%
11,76%
3.
Apel
670,109%
87,03%
0,29%
4.
Tahu
365%
78%
0,82%
5.
Telur puyuh
552,38%
84,67%
0,94%
Sumber : Data Sekunder Praktikum ATL, 2013

B.     Pembahasan
       Bahan yang digunakan untuk praktikum ini adalah biskuit sebanyak 10 gram, yaitu 5 gram untuk pengujian kadar air, dan 5 gram lagi untuk pengujian kadar abu. Komposisi dari bahan ini adalah tepung terigu, gula, minyak nabati, tapioka, tepung kelapa, susu bubuk, garam, bahan pengembang, lesitin, dan perisa kelapa. Hal ini sesuai dengan Mayora (2011), yang mengatakan bahwa biskuit roma adalah biskuit yang bergizi dan cocok untuk keluarga. Biskuit roma memiliki komposisi, yaitu dari tepung terigu, gula, minyak nabati, tapioka, tepung kelapa, susu bubuk, garam, bahan pengembang, lesitin, dan perisa kelapa.
       Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah. Berat bahan kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap (konstan). Hal ini sesuai dengan Anonim (2010b), yang mengatakan bahwa kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen.
       Hasil praktikum mengenai kadar air menunjukkan bahwa kadar air basis basah biskuit, adalah 1,46% sedangkan kadar air basis kering biskuit, adalah 1,45%. Ini menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat di dalam biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 telah memenuhi syarat yang ada, yaitu kurang dari 5% (maksimum 5%). Hal ini sesuai dengan Rena (2013), yang menyatakan bahwa biskuit adalah kue kering yang tipis, renyah, dan keras yang dibuat tanpa peragian dengan kandungan air yang rendah kurang dari 5 %.
       Perhitungan kadar air yang terdapat pada biskuit, terlebih dahulu ditimbang bobot biskuit yang digunakan sebanyak 5 gram. Setelah itu, dipanaskan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada biskuit, sehingga didapatkan kadar air basis keringnya. Kemudian bahan didinginkan ke dalam desikator selama 10 menit. Setelah itu, ditimbang lagi berat cawan dan bahannya dengan menggunakan timbangan analitik. Lalu dikeringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat yang konstan. Hal ini sesuai dengan Winarno (1992), yang menyatakan bahwa pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110ºC selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan.
       Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Hal ini sesuai dengan Firmansyah (2011), yang mengatakan bahwa kadar abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara pengabuanya.
       Hasil praktikum mengenai kadar abu didapatkan kadar abu yang dimiliki biskuit, yaitu sebanyak 1,16%. Penilaian mutu biskuit ditinjau dari aspek ini dapat dilakukan secara laboratoris dengan analisis kimia. Syarat mutu biskuit yang telah ditetapkan oleh Departemen Perindustrian tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI. 01-2973-1992), yaitu 2% (maksimum 2%). Ini menunjukkan bahwa kandungan abu yang terdapat di dalam biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 telah memenuhi syarat yang ada, yaitu kurang dari 2% (maksimum 2%). Hal ini sesuai dengan Rena (2013), yang menyatakan bahwa biskuit adalah kue kering yang tipis, renyah, dan keras yang dibuat tanpa peragian dengan kandungan air yang rendah kurang dari 5 %.
       Perhitungan kadar abu yang terdapat pada biskuit, terlebih dahulu ditimbang bobot biskuit yang digunakan sebanyak 5 gram. Setelah itu, dipanaskan ke dalam tanur pada suhu 750oC selama 3 jam untuk menguapkan bahan-bahan yang terkandung di dalam biskuit, kecuali mineralnya. Kemudian bahan didinginkan ke dalam desikator selama 10 menit. Setelah itu, ditimbang lagi berat cawan dan bahannya dengan menggunakan timbangan analitik. Lalu dikeringkan kembali ke dalam tanur sampai diperoleh berat yang konstan. Hal ini sesuai dengan Anonim (2010a), yang mengatakan bahwa penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut.


V.    PENUTUP

A.     Kesimpulan
       Kesimpulan yang dapat diperoleh pada praktikum ini antara lain :
1.   Kadar air yang terdapat pada biskuit roma adalah basis kering 1,46% dan basis basah 1,45% dan kadar abu yang terdapat pada biskuit roma adalah 1,16%.
2.   Metode yang dilakukan untuk menganalisa kadar air adalah dengan metode oven yang bertujuan untuk menghilangkan kadar air yang terdapat dalam bahan pangan tersebut dengan suhu 105ºC.
3.  Metode yang dilakukan untuk menganalisa kadar abu adalah dengan metode tanur, dengan cara memasukkan cawan yang telah berisi bahan pangan kedalam tanur yang bersuhu 750ºC.

B.     Saran
       Sebaiknya ketika praktikan melakukan praktikum ini harus memperhatikan dengan jelas jumlah cawan dan bahan yang akan di uji kadar air dan kadar abunya agar supaya tidak keliru.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010a. Laporan Penentuan Kadar Abu. http://scribd.com. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Anonim. 2010b. Kadar Air Basis Basah dan Kadar Air Basis Kering. http://yefrichan.wordpress.com/2010/08/04/kadar-air-basis-basah-dan-kadar-air-basis-kering/. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Apriyantono, Anton, dkk. 1989. Analisis Pangan. Pusbangtepa IPB : Bogor.
Astawan, Made. 2008. Biskuithttp://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail. aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0%7C0%7C6%7C467. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Astuti. 2012. Kadar abu. https://astutipage.wordpress.com/tag/kadar-abu/. Diakses pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Makassar.
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. PT. Rineka Cipta: Yakarta.
Taib, Gunarif. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Mediyatama Sarana Perkasa: Jakarta.
Winarno. 1984. Kimia Pangan. PT. Gramedia: Jakarta.

Jumat, 29 Mei 2015

PATI RESISTEN

I. PENDAHULUAN
I.1.  Latar Belakang
Pati merupakan sumber energi dan karbon penting yang dihasilkan oleh tanaman. Selain itu, pati secara umum ialah zat tepung dari karhohidrat dengan polimer yang terdiri atas dua komponen penyusunnya, yakni amilosa dan amilopektin. Amilosa ialah polimer linier dengan ikatan α-1,4-D glikosidik, sedangkan amilopektin ialah sebuah polimer bercabang dengan rantai utamanya α-1,4-D glikosidik sedang rantai percabangannya α-1,6-glikosidik. Pati biasa juga disebut starch memiliki beberapa jenis yang didasarkan pada tingkat kecepatan dicernanya kedalam tubuh, yakni rapidly digestible starch (20 menit), slowly digestible starch (20-110 menit), dan resistant starch (tidak dapat dicerna). Pati resisten dalam lingkup global begitu banyak perkembangannya.
Pati resisten/resistant starch merupakan sebuah fraksi pati yang tidak dapat tercerna oleh/dalam sistem saluran pencernaan manusia. Peranan pati resisten dalam dunia gizi begitu erat kaitannya dengan kesehatan manusia, dimana pati resisten ini memiliki beberapa tipe yakni, RS 1 (berdasar sifat fisik bahan berpati, melingkupi ukuran partikel dan derajat hidrasi, misalnya biji dan kacang-kacangan), RS 2 (diperoleh dari sifat alami pati: misalnya kentang, dan pisang), RS 3 [diperoleh dari proses pengolahan (pemanasan dan pendinginan secara berulang)], dan RS 4 (hasil modifikasi secara kimia atau repolimerasi, seperti terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer).
Pati resisten secara analitis, dapat didefinisikan sebagai sebuah pati yang miliki ketahanan terhadap proses dispersi didalam air mendidih, juga terhadap hidrolisis oleh enzim amilase pancreas dan pullulanase tetapi dapat didispersi dengan senyawa KOH dan proses hidrolisis amiloglukosidase. Pati resisten dalam penelitian, seperti serat makanan yang sulit dicerna dalam usus halus sehingga langsung masuk ke dalam usus besar. Selain itu juga pati resisten ada yang sedikit terfermentasi oleh mikroflora serta dapat memberikan pengaruh yang positif pada koloni bakteri baik (Fuentes-Zaragoza, et al., 2010).
Melihat dari itu semua, sebagai mahasiswa (i) itu sendiri, terkhusus dalam bidang teknologi pengolahan pangan, dalam pemanfaatan ilmunya dan untuk memenuhi kepuasan pengetahuan mengenai pati resisten inii, serta agar tidak ketinggalan teknologi dan informasi seperti yang dijelaskan diatas, maka buatlah makalah ini, dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penjelasan mengenai pati resisten ini, yaitu agar mahasiswa (i) dapat mengetahui kandungan pati resisten secara alami dan proses pengolahan untuk meningkatkan kandungan pati resisten.



II. BAGIAN ISI
II.1. Kandungan Alami Pati Resisten
II.1.1. Kandungan Pati Alami Dari Berbagai Jenis Tumbuhan
Pati merupakan polimer yang disintesa dari dalam tanaman hijau, pada bagian kloroplas dalam bentuk butiran-butiran kecil. Residu dari pati ini banyak terbentuk pada siang hari. Kandungan pati alami yang terdapat didalam tanaman berupa amilosa dan amilopektin.
Pati pada tanaman juga dapat ditemukan pada bagian rhizoma, umbi batang, umbi akar, buah dan biji. Beberapa contoh dari pati yang terdapat pada biji, seperti jagung, beras, gandum, sorgum, jewawut, dan pisang. Pada bagian batang sendiri, misalnya dari sagu, tebu, palem, sawit, dan enau. Sedangkan pada umbi, biasa terdapat pada tanaman ubi jalar, ubi kayu, uwi, kentang, gadung, garut, gembili, dan gayong.
·      Pisang sebagai sebuah komoditi hasil pertanian memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, juga terdapat komponen pati yakni 17,2-38% dengan takaran teruji kadar amilosanya sekitar 9,1-17,2%. Melihat dari tingginya kandungan amilosa yang terdapat pada tanaman pisang ini banyak peneliti yang menelitinya untuk dijadikan sebagai salah satu sumber alternatif baru yang begitu berpotensial yang dapat digunakan dalam pembuatan resistant starch (pati resisten) (Jenie dkk, 2012). Selain itu, pengembangan pati resisten secara komersial ini, lebih baik digunakan dari pati yang secara alami terkandung amilosa yang tinggi.
·   Pati biji jagung secara genetik memiliki kandungan amilosa dan amilopektin yang terkendali. Amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti protein dan lipid merupakan tiga komponen utama dari penyusunan pati. Berdasarkan tipe jagungnya, terkandung amilosa sebanyak 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75% untuk jagung tipe endosperma gigi kuda dan mutiara. Lalu ada pula pati dari jagung pulut yang kandungan patinya hampir 100% amilopektin. Gen tunggal waxy yang bersifat resesif epitasis merupakan satu faktor penyebab komposisi kimia pati, hingga amilosa yang terdapat didalamnya begitu sedikit (Fergason 1994).
·      Ganyong ialah sebuah tanaman yang tegak dengan tinggi antara 0,9-18 m. Bentuk dan komposisi kadar umbinya beraneka ragam. Di Indonesia sendiri, varietas yang banyak dijumpai ialah ganyong dengan warna merah dan putih. Ganyong merupakan sumber karbohidrat, yakni sekitar 22,6-23,8% . Ukuran granula yang dimilikinya 22,5 µm, selain itu terdapat rendemen pati sebnayakk 12,93%. Adapun kandungan amilosanya sebanyak 8,9% dan amilopektin sebesar 81,1%.
·    Gembili memiliki sifat fisik kimia yakni 21,44% (rendemen pati), 0,75 µm (ukuran granula), 24,3% (amilosa) dan 75,7% (amilopektin), 33 menit (waktu gelatinisasi), 79,5oC (suhu gelatinisasi), dan 700 BU (viskositas puncak).
Dari beberaoa contoh diatas itu diketahui bahwasanya kandungan yang terdapat pada tanaman ini dilihat dari segi kandungan pati alaminya berbeda tergantung komoditinya, selain itu dengan pencakupan yang luas, suatu pengolahan ataupun penelitian mengenai pati resisten yang marak didunia modern ini masih dapat terus berkembang.

II.1.2. Metode Penghitungan Pati Resisten

Beberapa metode pati resisten yang dapat dilihat berdasarkan jurnal ilmiah yang direview ini adalah sebagai berikut:
a)    Penelitian berjudul “Modifikasi pati sederhana dengan metode fisik, kimia, dan kombinasi fisik-kimia untuk menghasilkan tepung pra-masak tinggi pati resisten yang dibuat dari jagung, kentang, dan ubi kayu”. Dalam penelitian yang terjadi didalamnya, metode perhitungan pati resisten didalamnya dilakukan dengan melihat perlakuan metode yang diberikannya. Dimana, dilakukan modifikasi fisik (pemanasan dan pendinginan), modifikasi kimiawi (perlakuan alkali). Pada perlakuan modifikasi secara kimiawi ini dengan penggunaan Ca(OH)2 polimer dari pati meningkatkan kadar resisten pati, sebab polimernya ini dapaat memperkuat struktur pati yang ada juga mampu menahan hidrolisis enzim. Ca2+ dari Ca(OH)2 akan melakukan pengikatan/berikatan dengan polimer dari pada pati (amilosa dan amilopektin) membentuk ikatan silang. Selain itu juga dalam penjelasan lain dijabarkan bahwa karena pH dari larutan cukup tinggi, sehingga Ca(OH)2 akan terionisasi menjadi Ca2+ dan OH- lalu membentuk ikatan silang dengan polimer pati.
b)  Penelitian berjudul “Kajian kandungan dan karakterisik pati resisten dari berbagai varietas pisang”. Dalam penentuan pati resistennnya ini, itu dilakukan dengan memodifikasi metode yang digunakan oleh Goni et al. (1996). Banyaknya glukosa [(mg) x 0,9] dalam hal ini ialah jumlah pati resisten pada tiap sampel.
Rumus yang digunakan;
Kadar glukosa (mg) = [mg/ml glukosa dari kurva standar x vol. sampel (ml) x fp x 1 mg]/Berat sampel (mg)

II.2. Proses Pengolahan Peningkatan Kandungan Pati Resisten

Pati resisten merupakan fraksi pati yang tidak dapat tercerna oleh/dalam sistem saluran pencernaan manusia. Namun dalam dunia kesehatan dapat menjadi probiotik, karena pati yang tak dicerna didalam usus dan difermentasi oleh mikroba seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli, sehingga resistant starch juga berpotensi sebagai prebiotik.
Dalam hal lainnya, pati resisten ini banyak dikembangkan, terutama dalam industri makanan, sebab khasiatnya sebagai makanan diet, dapat menurunkan respon glikemik (yang sebabkan kenaikan daripada kadar gula darah), juga dapat memberikan rasa kenyang, serta mengurangi penyimpanan lemak) (Croghan, 2001).
Lebih jelas, pati resisten ini juga dapat meningkatkan mikroflora yang baik untuk kolon (prebiotik) dimana berpotensi mencegah kanker kolon. Olehnya, pati resisten memiliki manfaat yang baik untuk kesehatan dan juga musti banyak dikonsumsi (dianjurkan) (Croghan, 2001).
Pengolahan dan peningkatan kandungan dari pati resisten pati itu sendiri sudah banyak dilakukan dan sekarang ini sudah banyak jurnal ilmiah yang dapat dipelajari dan merangkum cara-cara penambahan kadar dari resisten pati. Gunanya pati resisten itu ditingkatkan, adalah sudah jelas, selain bagus untuk pencernaan, mengatasi kanker (kolon), dan sebagai serat pangan (berhubungan dengan fisiologis makanan).
Peningkatan pati resisten ini dapat dilakukan dengan proses tertentu, misalnya dengan perebusan dan pemanggangan dengan suhu tinggi, pendinginan dan pemanasan berulang, penambahan asam laktat (bakteri), dan perlakuan penambahan alkali (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya). Berikut akan ditampilkan beberapa metode yang seperti dimaksudkan itu, dalam sebuah penelitian berbasis ilmiah yang juga telah teruji.
a)    Penelitian dengan judul “Pengaruh Dua Siklus Autoclaving-Cooling Terhadap Kadar Pati Resisten Tepung Beras dan Bihun yang Dihasilkannya”. Dengan memanfaatkan metode autoclaving-cooling sebagai metode dasar peningkatan kadar resisten pati pada sampel beras yang diujikan, yakni Ciherang Igr (pratanak), Basmati dan IR-42. Dalam hal ini, beras hasil pengunaan metode tersebut mengalami peningkatan resisten pati, dan dihasil didapatkan bahwa beras Ciherang Igr yang memiliki tingkat pengingkatan resisten pati tertinggi. Adapun faktor lain yang menyebabkan tingginya pati resisten yang terjadi karena kandungan amilosa yang terdapat didalam beras tersebut. Karena menurut sumber ilmiah resmi dijelaskan bahwa kadar resisten pati semakin meningkat, bila kadar amilosa dalam bahan baku juga semakin tinggi (Yuliwardi dkk, 2013).
b)   Penelitian dengan judul “Modifikasi Pati Sederhana Dengan Metode Fisik, Kimia, Dan Kombinasi Fisik-Kimia Untuk Menghasilkan Tepung Pra-Masak Tinggi Pati Resisten Yang Dibuat Dari Jagung, Kentang, Dan Ubi Kayu”. Dalam penelitian yang terjadi didalamnya, metode fisik, kimia dan kombinasi fisik kimia yang diterapkan. Pada sebuah penjelasan dari sumber lain pada jurnal ini dikatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pati resisten didalam bahan pangan, faktor-faktor itu antara lain keadaan fisik dari bahan baku (melingkupi kadar amilosa dan amilopektinnya, serta ukuran dari granula), kemudian juga proses pengolahannya, dan faktor adanya komponen lainnya (misalnya lipida). Kembali pada topik bahasan modifikasi pati ini, sudah jelas bahwa amilosa dalam fisik/sebagai kandungan dari pati alami pada tanaman memegang peranan penting, karena semakin tinggi amilosa pada bahan baku, maka kadar pati resisten juga semakin tinggi. Selain itu, modifikasi kimiawi (perlakuan alkali) yang digunakannya ini juga sebagian besar mempengaruhi terhadap kadar resisten pati. Pada perlakuan modifikasi secara kimiawi ini dengan penggunaan Ca(OH)2 polimer dari pati meningkatkan kadar resisten pati, sebab polimernya ini dapat memperkuat struktur pati yang ada juga mampu menahan hidrolisis enzim. Ca2+ dari Ca(OH)2 akan melakukan pengikatan/berikatan dengan polimer dari pada pati (amilosa dan amilopektin) membentuk ikatan silang. Selain itu juga dalam penjelasan lain dijabarkan bahwa karena pH dari larutan cukup tinggi, sehingga Ca(OH)2 akan terionisasi menjadi Ca2+ dan OH- lalu membentuk ikatan silang dengan polimer pati (Wulan, dkk, 2012).
c) Penelitian dengan judul “Fermentasi Kultur Campuran Bakteri Asam Laktat Dan Pemanasan Otoklaf Dalam Meningkatkan Kadar Pati Resisten Dan Sifat Fungsional Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiacal formatypica)”. Dengan pemahaman mengenai pati resisten yang dapat menstimulasi tumbuh kembangnya bakteri menguntungkan (probiotik) seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus yang terjadi didalam usus manusia. Maka dilakukan penelitian mengenai bagaimana caranya agar terjadi peningkatan pada pati resisten ini. Adapun solusi yang digunakan untuk peningkataan pati resisten ini, adalah dengan metode pemanasan otoklaf dan fermentasi. Pada prinsipnya dijelaskan bahwa pemanasan dengan sistem otoklaf ini gelatinisasi pati yang terjadi menyebabkan tereduksinya kandungan pati, substansi peningkatan level dari kerusakan pati ini juga terjadi. Namun dari kerusakannya itu, pati berkorelasi positif terhadap peningkatan daya cerna dan kadar amilosanya. Dalam penelitian ini juga, terjadi linierisasi amilopektin sehingga timbulkan kadar amilosa tepung pisang dengan metode pemanasan otoklaf meningkat, daripada tepung pisang tanpa metode pemanasan otoklaf. Sedangkan dari segi metode fermentasi didapatkan hasil bahwa Bakteri Asam Laktat dengan penggunaan metode pemanasan otoklaf (P<0,05) secara signifikan tidak mengalami pengaruh berarti terhadap kadar pati resisten dan kadar pati, namun itu secara signifikan berpengaruh terhadap daya cerna pati pada tepung pisang dan juga kadar amilosanya (Jenie dkk, 2013).
d) Penelitian ini berjudul "Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Kadar Pati Resisten Sukun (Artocarpus altilis Park)". Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh pengolahannya terhadap kadar pati resisten yang terdapat pada sukun, ialah dengan perebusan, pengukusan, dan penggorengan yang untuk masing-masing pengolahannya inni dikombinasikan ula dengan proses pendinginan dengan waktu yang diatur (dikontrol) pada refrigrator. Pada tampilan hasil yang telah diujikan ini, sukun dengan proses pengolahan yang terbaik dijadikan sebagai bahan olahan fungsional pada beberapa jenis makanan, seperti untuk pembuatan biskuit, cake dan roti manis. Lalu dilakukan pengujian secaara organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen/panelis terhadap produk pangan tersebut. Lebih jelas, perlakuan terbaik yang digunakan ialah dengan pengolahan pengukusan dan lalu pendinginan, dimana idtampilkan hasilnya 2 kali lipat dari pada dua metode pengolahan lainnya (perebusan dan penggorengan), yakni dari 3,27% menjadi 6,67% (Rosida dan Yulistiani, 2011).
Secara umum, konsep pengolahan dari pati resisten ini lebih banyak bersumber dari konsep pemanasan dan lalu pendunginan pada bahan itu. Hal ini juga sempat dijelaskan diatas, metode pemanasan dan pendinginan. Pada hakekatnya, pemanasan pati dan air pada bahan pangan ini/yang ditambahkan ini akan menyebabkan pati mengalami proses gelatinisasi. Kemudian pada proses pengolahan pendinginan ini, pati yang telah mengalami proses gelatinisasi mengubah struktur fisik pati menjadi bentuk kristal (amorf) yang tidak larut, yang biasa disebut pati teretrogradasi. Proses gelatinisasi dan juga retrogradasi inilah yang sering mempengaruhi kecepatan bahan berpati didalam usus halus. Pada proses pengolahan pangan, berdasar pada pengolahan dan tipe dasar pati (RS 1, 2, 3, dan 4), telah banyak oleh industri pangan dan juga konsumen untuk meminatinya, sehubungan dengan efek positifnya, yang secara fisiologis menguntungkan bagi kesehatan ataupun secara fungsional diterapkan pada olahan pangan. Penambahan pati resisten pada produk panganan olahan ini memperbaiki mutu dan kualitas dari produk, bagi dari segi kerenyahan (tekstur), warna, dan atau flavor/rasa, sehingga ini dapat diterima oleh masyrakat, terkhusus konsumennya.


  

III. PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Pati resisten/resistant starch merupakan sebuah fraksi pati yang tidak dapat tercerna oleh/dalam sistem saluran pencernaan manusia. Peranan pati resisten dalam dunia gizi begitu erat kaitannya dengan kesehatan manusia, dimana pati resisten ini memiliki beberapa tipe yakni, RS 1 (berdasar sifat fisik bahan berpati, melingkupi ukuran partikel dan derajat hidrasi, misalnya biji dan kacang-kacangan), RS 2 (diperoleh dari sifat alami pati: misalnya kentang, dan pisang), RS 3 [diperoleh dari proses pengolahan (pemanasan dan pendinginan secara berulang)], dan RS 4 (hasil modifikasi secara kimia atau repolimerasi, seperti terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer).
Kandungan pati alami yang terdapat didalam tanaman berupa amilosa dan amilopektin. Pati pada tanaman juga dapat ditemukan pada bagian rhizoma, umbi batang, umbi akar, buah dan biji. Beberapa contoh dari pati yang terdapat pada biji, seperti jagung, beras, gandum, sorgum, jewawut, dan pisang. Pada bagian batang sendiri, misalnya dari sagu, tebu, palem, sawit, dan enau. Sedangkan pada umbi, biasa terdapat pada tanaman ubi jalar, ubi kayu, uwi, kentang, gadung, garut, gembili, dan gayong.
Peningkatan pati resisten ini dapat dilakukan dengan proses tertentu, misalnya dengan perebusan dan pemanggangan dengan suhu tinggi, pendinginan dan pemanasan berulang, penambahan asam laktat (bakteri), dan perlakuan penambahan alkali.


Sumber Referensi:
Jurnal:
Jenie B.S.Laksmi, Reski Praja Putra, dan Feri Kusnandar. 2012. Fermentasi Kultur Campuran Bakteri Asam Laktat Dan Pemanasan Otoklaf Dalam Meningkatkan Kadar Pati Resisten Dan Sifat Fungsional Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiacal formatypica). FTP-ITB: Bandung.
Musita, Nandi. 2012. Kajian Kandungan Dan Karakterisik Pati Resisten Dari Berbagai Varietas Pisang. Bandar Lampung.
Rosida dan Yulistiani, Ratna. 2011. Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Kadar Pati Resisten Sukun (Artocarpus altilis Park). FTP-UPN Veteran: Jatim.
Suarni, I.U. Firmansyah, dan M. Aqil. 2013. Keragaman Mutu Pati Beberapa Varietas Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Sulawesi Selatan.
Wulan S.N, E. Saparianti, S.B. Widjanarko dan N. Kurnaeni. 2012. Modifikasi Pati Sederhana Dengan Metode Fisik, Kimia, Dan Kombinasi Fisik-Kimia Untuk Menghasilkan Tepung Pra-Masak Tinggi Pati Resisten Yang Dibuat Dari Jagung, Kentang, Dan Ubi Kayu. FTP-UNIBRAW: Malang.
Yuliwardi F., Elvira Syamsira, Purwiyatno Hariyadi, dan Sri Widowati. 2013. Pengaruh Dua Siklus Autoclaving-Cooling Terhadap Kadar Pati Resisten Tepung Beras dan Bihun yang Dihasilkannya. ITP-IPB: Bogor.

Referensi Terkait Dalam Jurnal:
Crohgan, M. 2001. Resistant Starch as Functional Ingredients in Food Systems. National Starch.
Fergason. V. 1994. High Amylase and Waxycorn. In: A.R. Halleur (Ed). Specialty Corns. CRC Press Inc. USA.
Fuentes-Zaragoza, E., M.J. Riquelme-Navarrete, E. Sanchez-Zapata dan J.A. Perez-Alvarez.  2010. Resistant Starch as Functional Ingredients: a Review. Food Research International. Food Research International 43: 931–942.

Goni, L., L. Gracia-Diz,mas.d” and F. Saura-Calixto. 1996. Analysis of Resistant Starch : Method of Food Product. J. Food Chem. 56 (4): 445-449.