MAKALAH
WAWASAN SUMBER BUDAYA
MARITIM
MASYARAKAT MARITIM
KELOMPOK 4
RISKA
AULIYA SAFARNI
HENRI
KARTONO
RISKA
AULIYA
ARGI
RESKY ANGGRAENI
NURMILA
QUDRIANA
LABORATORIUM
KOMPUTER DAN SISTEM INFORMASI
PROGRAM
STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
JURUSAN
TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat maritim, yang terdiri dari dua buah kata
yang memiliki makna tersendiri. Maritim yang merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan
yang berhubungan dengan kelautan
atau disebut pelayaran niaga. Sedangkan masyarakat adalah sekumpulan manusia
yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah
tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar
kegiatannya di dalam kelompok tersebut ( Horton et. Al,1991).
Indonesia adalah negara berbentuk kepulauan
dengan wilayah yang luas terbentang dari Aceh sampai Papua. Kondisi komunitas
masyarakat di masing-masing wilayah sangat beragam dan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
Faktor-faktor tersebut di antaranya letak geografis, kondisi sosial, budaya,
ekonomi, sarana dan prasarana wilayah serta pendidikannya.
Indonesia
adalah negara maritim terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang
membentang dari barat sampai timur dengan panjang garis pantai kurang lebih
81.000 km serta luas wilayah laut sekitar 5,9 juta km2. Indonesia juga terletak pada posisi silang
yang sangat strategis di antara benua Asia dan Australia dimana di dalamnya
terkandung kekayaan sumber daya alam, energi, mineral, hayati dan hewani yang
beraneka macam.
Kondisi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan menempatkan sektor transportasi laut sebagai jalur utama
penghubung pulau-pulau di Indonesia. Namun, selama
ini potensi laut tersebut belum termanfaatkan dengan baik dalam meningkatkan
kesejahteraan bangsa pada umumnya, dan pemasukan devisa negara khususnya.
Bahkan, sebagian besar hasil pemanfaatan laut selama ini justru “lari” atau
“tercuri” ke luar negeri oleh para nelayan asing yang memiliki perlengkapan
modern dan beroperasi hingga perairan Indonesia secara ilegal.
Dalam konteks inilah
kerjasama dalam pengelolaan potensi sumberdaya tersebut sangat diperlukan,
karena yang diinginkan bukan saja peningkatan hasil pemanfaatan laut, tetapi
juga pemerataan hasil pemanfaatan yang dinikmati seluas-luasnya oleh
masyarakat. Berdasarkan materi pembelajaran
kami kali ini, kami akan mengulasnya lebih lanjut.
1.2. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari materi
pembelajaran kali ini, yaitu:
1.
Mengetahui konsep-konsep dari masyarakat
maritim Indonesia?
2.
Mengetahui karakteristik dari masyarakat
maritim?
3.
Mengetahui dinamika sosial dari
masyarakat maritim?
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Konsep Masyarakat
Maritim
Masyarakat, menurut Koentjaraningrat
(1980), ialah kesatuan hidup manusia yang beinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang disebut masyarakat ialah berupa
kelompok, golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa (ethnic group) atau
masyarakat negara bangsa (nation state). Interaksi yang kontinyu ialah hubungan
pergaulan dan kerja sama antar anggota kelompok atau golongan, hubungan antar warga dari
komunitas, hubungan antar warga dalam satu suku bangsa atau antar warga negara
bangsa. Adat istiadat dan identitas ialah kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Selain
itu, menurut Ralph Linton (1956), dalam Sitorus et.al. (1998) mengartikan masyarakat
sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga
mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial
dengan batas-batas tertentu.
Sementara
itu, Soejono Soekanto (1990) merinci unsur-unsur masyarakat sebagai berikut:
1.
Manusia
yang hidup bersama
2.
Bercampur
dalam waktu yang lama
3.
Sadar
sebagai suatu kesatuan
4.
Sadar
sebagai suatu sistem hidup bersama
Konsep suku bangsa mengacu pada
kesatuan hidup manusia yang memiliki dan dicirikan dengan serta dasar akan
kesamaan budaya (sistem-sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, pola
ekonomi, teknologi, seni, kepercayaan). Contoh dari kesatuan hidup manusia yang
disebut suku bangsa seperti suku bangsa Jawa, Sunda, Minagkabaau, Batak, Aceh,
Bali, Dayak, Bugis, Makassar, Ambon, Asmat, dan lain-lain. Di Indonesia,
menurut macam bahasa yang diucapkan, terdapat krang lebih 600 buah suku bangsa.
Bagian terbesar diantaranya terdapat di Irian, Sulawesi, Maluku, dan NTT.
Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil
dan pantai-pantai terpencil hampirtidak dikenal oleh sebagian besar oleh orang
di Nusantara ini, hal tersebut telah menyebabkanmereka termarjinalkan dari berbagai bidang pembangunan kebangsaan, karena itu perlu ada upaya mengenali kebudayaannya. Kebudayaan adalah sesuatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri
dengan menghadapi lingkungan tertentu (lingkungan fisik/alam,
sosial dan kebudayaan) untuk dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu, seringkali, kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint (cetak biru) ataudesain menyeluruh kehidupan masyarakat (Suparlan, 1986; Spradley, 1972) Agar mampu melakukan
adaptasi diri, maka perlu dikenali ciri-ciri suatu tindakan sosial. Pertama, yang bersifat faktual, yaitu suatu tipe tindakan yang terwujud yang berdasarkan pada orientasi atau dipengaruhi oleh nilai-nilai
dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Kedua, tindakan sosial yang bersifat tradisional, yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau
dipengaruhi olehadanya ikatan tradisi yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, tindakan sosial yang bersifat afektual, yaitu tindakan sosial yang
berorientasi atau sangat dipengaruhi oleh perasaan, seperti rasa pantas atau
tidak pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman, bangga atau
tidak bangga, dan lain sebagainya.
Masyarakat dan
kebudayaan, karena itu, merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan, meskipun dapat diuraikan untuk dipahami kesatuan
fungsionalnya. Jadi, masyarakat bahari/maritim dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia berupa kelompok-kelompok kerja (termasuk
satuan-satuan tugas), komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan suku bangsa, kesatuan administratif, berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa merupakan negara atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau
tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan nonhayati) dan
jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudayaan
baharinya.
1.2. Karakteristik Sosial Masyarakat Maritim
Masyarakat pesisir adalah
sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk
dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada
pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Tentu masyarakat pesisir tidak
saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang
ikan. Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource
based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi
laut.
Penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu
tahun 2010 berpenduduk 21.071 jiwa, sekitar 69,36 % merupakan nelayan sedangkan
sisanya terdiri dari pedagang, buruh, PNS, swasta dan lain-lain (BPS Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu, 2010). Tingkat pendidikan penduduk wilayah
pesisir juga tergolong rendah, dimana penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu
sekitar 6.800 jiwa hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD), 1.463 jiwa tamat SMP dan 1.076 jiwa tamat SMA dengan fasilitas pendidikan
yang ada masih sangat terbatas. Kondisi
lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata
dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif
berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan
terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan
masyarakat.
Masyarakat pesisir pada umumnya
telah menjadi bagian dari masyarakat yang pluraristik tapi masih memiliki jiwa
kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan
gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur
masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai
budaya yang merupakan akultrasi budaya dari masing-masing komponen yang
membentuk struktur masyarakatnya. Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat/
karakteristik tertentu yang khas/unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan
sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat dari usaha-usaha
perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, msim, dan
pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut.
1.3. Makassar Sebagai Kota Maritim
Munculnya Makassar salah satu etnis maritim dalam
percaturan politik ekonomi Nusantara tidak terpisahkan dari usaha kerajaan Gowa membangun diri sebagai
kerajaan maritim utama di Indonesia Timur. Usaha-usaha itu antara lain adalah
menguasai daerah-daerah pedalamam Bugis penghasil beras dan hasil
hutannya. Itulah sebabnya terjadi perang penaklukkan atas kerajaan-kerajaan
Bugis di pedalaman sejak awal abad 16. Gowa sebagai simbol kerajaan Gowa yang
berdaulat juga menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di
Indonesia Timur dengan menempatkan Somba
Opu sebagai pelabuhan transito utama bagi perdagangan rempah dari Maluku. Dalam
memperkuat posisinya itu Kerajaan Gowa
berusaha menjalin kerjasama dan hubungan diplomatik dengan
kerajaan-kerajaan luar dan menjadikan Somba Opu sebagai benua Maritim dengan menempatkan Kerajaan
Tallo sebagai pusat teknologi perkapalan. Untuk mewujudkan sebagai kerajaan
maritim yang kuat maka dibangun angkatan perang yang kuat dengan sistem birokrasi
yang modern. Untuk meningkatkan ekonomi maka kerajaan Gowa juga memperdagangkan
Budak. Perdagangan budak ini dianggap
penting karena dapat memberi penghasilan yang tinggi pada kerajaan tanpa perlu
bekrja keras, karena komoditas budak diperoleh sejalan dengan perang penaklukan
dari berbagai wilayah di Indonesia Timur.
Sampai tahun 1669 perdagangan budak
masih merupakan mata dagangan utama yang secara formal dikelola oleh kerajaan
Gowa. Jaringan perdagangan ini meliputi Kalimantan Utara, Timur, Manggarai,
Tanimbar, sula dan Alor. Budak-budak dari daerah ini diperdagangkan ke
Banjarmasin, ke Palembang, Jambi, Aceh, Johor, Sukadana, dan Batavia,
Perdagangan budak ini dilakukan melalui sistim berter dengan berbagai produk
luar. Cindai dan sutra, dua di antara komoditas barter yang utama, Beberapa sumber
menyebutkan bahwa orang-orang Makassar memperoleh juga budak dari Buton,
ternate, Kepulauan Sulu dan pulau-pulau sekitarnya. Dalam subuah catatan
disebut bahwa, ditahun 1665 sekitar 200 armada perahu dagang Makassar yang
dilengkapi persenjataan dan prajurit menjelajah dikepulauan Sulu melakukan
“penaklukan” dan penangkapan penduduk untuk dijadikan budak. Dalam expedisi
tahun 1665 orang-orang Makassar memperoleh lebih seribu orang “Budak” (Coolhous
1960 – 71.111,526). Karena melimpahnya budak di pasaran, terutama yang berasal
dri Indonesia Timur dan Bali, muncul kecurigaan di Batavia dan menyebar issu
yang mengarah larangan agar tidak membeli budak dari Makassar dan Bali.
Kecurigaan itu berasal dari dugaan bahwa orang-orang yang diperdagangkan sebagai
budak, ternyata bukan budak dalam arti yang susungguhnya, tetapi orang-orang
yang ditangkap secara paksa dengan kekerasan, ditaklukkan,diikat dan dijual
sebagi budak, Sekalipun kerajaan Gowa jatuh 1669, tetapi jaringan perdagangan
budak di Indonesia timur masih berlangsung hingga abad ke 19.
Dalam kapastiannya selaku pusat
perdagangan Indonesia Timur. Kerajaan Gowa sebenarnya tidak hanya didukung oleh
faktor geografisnya sebagai pintu gerbang Indonesia Timur, tetapi juga karena
kekuatan armada lautnya yang mampu mengontrol kawasan perdagangan seluas itu.
Semua ini dapat terjadi karena adanya tradisi kemaritiman orang-orang Makassar yang sangat tinggi. Dapat dikatakan
bahwa sampai saat ini belum ada yang dapat menandingi keahlian tradisional orang-orang Makassar Bugis dalam
bidang industri semacam itulah mempercepat terjadinya/adanya
pengakuan-pengakuan internasional tentang perang Kerajaan Gowa yang berpusat di
Somba Opu sebagai pusat kegiatan
perdagangan Indonesia Timur di abad 16-17.
Dalam Naskah lontarak huruf serang
berbahasa melayu milik Imam Bojo disebutkan bahwa datangnya migram Melayu di
tahun 1548 yang dipimpin oleh “Seorang Kapten Kapal Jawa” yang bernama “Nakhoda
Bonang”. Mereka datang dan meminta kepada Raja Gowa Tunipallangga (1548 –1566)
agar para pedagang-pedagang asal Melayu diizinkan tinggal di Somba Opu. Mereka
juga meminta perlindungan dan jaminan keamanan di kawasan itu.
Adapun permintaan Nakhoda Bonang kepada Raja Gowa,
yaitu:
Jangan memasuki halaman kami tanpa seizin kami,
Jangan naik ke rumah tanpa seizin kami,
Jangan memperlakukan hukuman “Nigayung” pada
anak-anak kami,
Jangan memperlakukan hukuman Nirappung bila ada
diantara kami yang bersalah.
Keempat poin merupakan
hak teritorial dan kekebalan diplomatik atas pedagang-pedagang Melayu yang
dikeluarkan oleh kerajaan Gowa abad ke 16 ini dapat menjadi petunjuk betapa
majunya budaya kemaritiman ketika itu.
Perjanjian ini juga dapat dianggap sebagai satu kesepakatan politik dalam
diplomasi perdagangan tertua di Indonesia Timur. Dalam satu dialog ketika
perjanjian itu akan disyakan Raja Gowa bertanya kepada Nakhoda Bonang : “Berapa
jenis (orang) yang kau maksudkan dalam permintaan itu” Nakhoda Bonang menjawab: semua kami yang bersarung ikat (Ma’lepa
baraya) Mereka adalah orang Pahang, orang Petani, orang Campa, orang
Minangkabau dan Orang Johor”. Sejak saat itulah orang-orang Melayu menetap dan
mempunyai perkampungan maritim Makassar.
Banyak di antara mereka kemudian menjadi petinggi di Kerajaan Gowa, sebagai
jabatan Syahbandar, Juru tulis, dan penasehat raja didominasi oleh orang Melayu
sedangkan orang-orang Makassar lebih banyak menguasai teknologi di bidang
kemaritiman, sebutlah misalnya Karaeng Patingalloang.
1.4. Dinamika Struktural Masyarakat Maritim
Di Sulawesi Selatan, tempar
kediaman dan asal sul komunitas-komunitas nelayan Bugis, Bajo, dan Makassar di
berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama nelayan yang
dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi(P-Sawi)
yang menurut keterangan dari setiap desa telah ada dan bertahan sejak ratusan
tahun silam. Meskipun kelompok P-Sawi juga dignakan dalam kegiatan pertanian,
perdagangan di darat, dan pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis
dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis,
Makassar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.
Struktur inti/elementer dari
kelompok organisasi ini ialah P.Laut atau juragan dan Sawi. P.laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas
produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki
pengetahuan kelautan, pengetahuan dan keterampilan manajerial, sementara para
sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/prodiksi
semata.
Pola hubungan (struktur sosial)
yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi)
maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah
hubungan patron-client. Hubungan patron-client memolakan dari atas bersifat
memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dibawah
mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja keras,
disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat
dipahami sebagai modal sosial).
Asba,
Rasyid. 2006. Citra Maritim Makassar.
Makassar.
Frizka.
2012. Optimasi Pengelolaan dan
Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administratif Kepulauan. http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/Optimasi-Pengelolaan-dan-Pengembangan-Budidaya-Ikan-Kerapu-Macan-pada-Kelompok-Sea-Farming-di-Pulau-Panggang-Kabupaten-Administratif-Kepulauan.pdf.
Diakses pada tanggal 5 Desember 2012. Makassar.
Prasetyo,
Wahyu. 2010. Sosialogi Masyarakat Pesisir.
http://kurcacibegundal.blogspot.com/2010/06/sosiologi-masyarakat-pesisir.html. Diakses pada tanggal 5 Desember
2012. Makassar.
Sastrawidjaja.
2006. Serba-Serbi Masyarakat Maritim.
Jakarta.
Tim
Pengajar WSBM. 2012. Wawasan Sosial
Budaya Maritim (WSBM). Makassar.
Wahyudin, Yudi. 2008. Sistem Sosial Ekonomi. http://komitmenku.files.wordpress.com/2008/06/20031205-sistem-sosial-ekonomi-dan-budaya-masyarakat-pesisir.pdf.
Diakses pada tanggal 5 Desember 2012. Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar